4. GOOD BYE

56 30 5
                                    

4. GOOD BYE

****

06.00 AM

Rachel menatap jam dinding. Untuk pertama dalam 18 tahun hidup, ia akan berangkat sekolah sepagi ini.

Hari ini beda dari hari sebelumnya. Bila dulu ada pembantu dan supir yang siap siaga menyediakan segala keperluan Rachel. Detik ini, Rachel menyediakan sendiri. Air mandi, handuk, seragam, kaos kaki, sepatu, tas hingga sarapan. Itupun tidak dimakan karena rasanya aneh. Tangan Rachel tak pernah menyentuh barang dapur walau secuil. Bahkan sekedar memoleskan selai diatas roti saja pembantu.

"Kamu gak sarapan?" tanya Arson pada Rachel sambil mengaduk teh hangat.

Rachel duduk diam dikursi meja makan dengan wajah tertekuk kesal. Tidak merespon pertanyaan Arson. Dimeja sudah tersedia roti yang sudah dioles selai oleh Arson untuknya. Namun Rachel tidak mau memakannya karena masih kesal pada lelaki tersebut.

"Gak mood!" jawab Rachel jutek.

"Ntar kamu sakit Rachel," ucap Arson lembut.

"Biarin!" jawab Rachel. Arson menghela napas, terserah.

"Jangan lupa Papa bakal kesekolah kamu nanti ya," Lagi dan lagi Arson membahas itu. Rachel menatap lurus kearahnya. Tersirat aura kesal sekaligus marah menguasai perempuan itu.

"Rachel gak mau pindah sekolah! Papa ngerti gak sih?!" Rachel menentang terang-terangan.

"Terserah! Kalo kamu mau sekolah disana silahkan! Tapi jangan harap Papa bisa bayar uang sekolah kamu!" Arson mengambil sikap tegas. Jengah karena Rachel tidak mau menurutinya kali ini.

Permintaan Arson pada Rachel dapat dihitung jari. Arson tipe orangtua pengertian. Tidak menuntut atau memaksa diluar kemampuan anak-anaknya. Dia tidak pernah minta yang aneh-aneh pada kedua putrinya. Terutama Rachel. Arson tau kalau Rachel tidak terlalu pintar atau kurang mampu dalam pelajaran. Tetapi Arson tak pernah memarahi ketika pembagian rapot. Setiap anak punya kemampuan masing-masing. Rachel pun begitu. Perempuan itu fasih dan lancar berbahasa Inggris. Mungkin mengingat Rachel sering pergi keluar negeri.

"Kalau Papa mampu, pasti Papa usahain. Tapi keadaan maksa Papa buat ambil keputusan ini."

"Ingat, gengsi kamu itu diturunin," pesan Arson, menusuk.

Kalimat itu telak menampar Rachel. Nafsu makannya hilang. Tanpa berlama-lama, ia berdiri merampas sebal tas yang pernah dibeli di Paris kala libur semester diatas kursi. Berlalu dari hadapan Arson yang menatapnya untuk berangkat sekolah. Bukan berangkat sekolah, melainkan mengucapkan selamat tinggal.

"Wa'alaikum salam," Arson menyindir Rachel karena pergi tanpa pamit.

Rachel melangkah keluar rumah dengan perasaan berdentum. Moodnya rusak parah. Melihat pintu tidak dibuka seperti biasa oleh pembantu tambah memperkeruh suasana hatinya. Lihatlah naik apa dia kesekolah? Supir dipulangkan. Mobil disita.

"Kenapa hidup gue hancur gini sih!" Rachel berbicara sendiri.

Lantas ia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang. Yaitu Dafid.

"Hallo sayang, tumben telpon pagi-pagi?"

"Jemput," ucap Rachel cepat.

Diseberang sana, posisi Dafid masih mengantuk akibat begadang mengernyit heran. "Lah bukannya biasa aku jemput kamu nolak?"

"Kamu enggak lagi kesambetkan?"

"Kamu mau gak sih jemput aku, kalo gak aku pergi sendiri nih?!" Mood Rachel kurang bersahabat membuatnya ingin marah-marah terus.

SELEBGRAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang