17. RACHEL, WILDAN & MAIRA

31 5 5
                                    

17. RACHEL, WILDAN & MAIRA

****

"Nasib, Nasib! Gini amat nasib gue!"

Begini jadinya jika Natama Jaim jalan bersisian dengan Wildan Arshaka Jiwa. Maka Jaim seperti orang tak kasat mata. Padahal cowok itu ada disebelah Wildan. Mulai dari parkiran sampai lorong sekolah semua pandangan tak lepas cuman untuk Wildan seorang.

"Lo ganteng jangan maruk-maruk amatlah, Wil. Sedekah jariyah sama gue kek. Cewek-cewek pada nyantol ke lo semua, kambeng! Gak guru. Gak tukang kantin. Ampe nenek nenek sebelah rumah demen banget pas lo main ke rumah gue," ujar Jaim.

"Ijo langsung noh matanya ngeliatin lo," lanjutnya.

Jaim mengerang frustasi. "Gue kapannnnnnn????"

"Dari 193 negara. 6 benua. 5 samudera. 7,594 miliar penduduk manusia. Sumpah demi alek gak ada satupun cewek yang ngelirik gue," Jaim meratapi nasibnya.

"Ada. Tunggu aja," kata Wildan pendek.

"Tunggu sampe kapan? Sampe gue jamuran?" Jaim kesal.

"Cewek-cewek kalo tau gue temen sama lo ujung-ujungnya kepincut sama lo juga," ujar Jaim lagi sebab pernah kejadian. Belum juga pacaran masih fase PDKT.

"Itu nunjukin kalo dia gak yang terbaik," Wildan berkomentar.

Bola mata Jaim langsung terbelalak lebar. Terperangah mendengarnya. "Busetttt, itu barusan lo yang ngomong?"

"Tumben nanggepin. Mana bijak bat mulut lo. Biasa diem-diem baek gue liat kayak patung Pancoran," sambung Jaim. Mereka masih terus berjalan.

"Mama gue aja suka sama lo. Tadi pagi bukannya nyemangati gue bilang 'hati-hati Jaim. Belajar yang rajin' malah bilang 'Jaim Mama kirim salam sama Wildan. Tanyain kapan main kerumah lagi biar dimasakin?' gitu," Jaim mengadu.

"Gue rasa kalo emak gue punya anak cewek pasti dijodohin ke lo deh, Wil," imbuh Jaim. Lagi pula siapa juga yang tidak mau punya mantu seperti Wildan. Spesies menantu idaman zaman sekarang.

"Mama lo gimana? Baik?" Wildan bertanya.

"Tambah baek kalo lo datang ke rumah. Nanyain lo mulu tiap gue pulang sekolah. Serasa anak pungut gue. Gak ditanyai kabar sama emak sendiri."

"Mama lo baik," Wildan berkata tulus.

"Ya, jelas Mama gue baik. Mamanya baik apalagi anaknya," Jaim memukul dadanya, bangga. Wildan menghembuskan nafas.

Sebelum memasuki ruang kelas, Wildan tiba-tiba berputar kearah lain membuat Jaim bertanya heran. "Mau kemana lo? Kelas kita disono woi?! Kebanyakan belajar jadi lupa kelas sendiri?"

"Duluan aja."

"Emang lo mau kemana?"

"Duluan aja," ulang Wildan menjawab Jaim.

Jaim tidak mau pergi. Justru mengulang pertanyaannya. "Emang lo mau kemana?"

Wildan meliriknya tajam.

"Estttttt, lirikan matamu menarik hati. Oh, senyumanmu manis sekali. Sehingga membuat aku tergoda," Jaim malah berdendang ria.

Wildan tidak menyahut. Sudah kebal dengan sifat Jaim yang kadang-kadang diluar normal. Cowok dengan arloji hitam di tangan kanan itu masuk ke saku celana. Pandangannya lurus tanpa peduli para siswi yang terpesona akan auranya. Tampan dan wibawa. Lalu, punggung tegapnya hilang di tikungan kelas.

Sementara Jaim masih asik bernyanyi dengan nada asal-asalan membuat para siswa yang berlalu lalang menutup telinga. Alangkah baiknya Jaim tidak perlu mengeluarkan bakat terpendamnya. Emang lebih baik dipendam saja. Dari pada merusak ekosistem sekitar.

SELEBGRAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang