12. CARA SIMPEL BELAJAR MATEMATIKA

65 18 1
                                    

12. CARA SIMPEL BELAJAR MATEMATIKA

****

Wildan berdiri dari duduk tatkala selesai mengikat tali sepatu Conversenya diruang tengah— siap-siap berangkat sekolah. Suara Bi Ningsih tiba-tiba memanggil namanya. Setiap pagi wanita paruh baya itu akan selalu datang untuk menyiapkan sarapan juga membereskan rumah. Bi Ningsih turun tangga menuju Wildan yang memperhatikan sambil membenahi dasinya.

"Ini surat kemarin ya, Den? Dari Bapak?" tanya Bi Ningsih.

"Punten, punten, punten Den gak sengaja ke baca Bibi waktu beresin kamar," Bi Ningsih kira kertas tergumpal itu adalah sampah biasa atau terkadang kertas corat-coret Wildan ketika belajar. Rupanya surat penting.

"Buang aja Bi," Wildan mengambil tas dan menyampirkan dibahu tegap cowok itu.

"Yakin Den dibuang?" Wildan bergumam kemudian pergi dari rumah. Nyatanya, untuk kali pertama Bi Ningsih tidak menurut. Wanita itu mendekat ke meja seraya melipat surat tersebut kembali seperti semula dan memasukannya kedalam laci tanpa sepengetahuan Wildan.

****

Hari ini Rachel melihat Wildan baru datang sama sepertinya. Cowok itu sedang mematikan kunci kontak motor ketika sampai diparkiran sekolah. Rachel menoleh ke sekelilingnya. Sadar bukan sorot mata perempuan itu saja yang melihat Wildan. Namun perempuan yang tak jauh di dekatnya menatap cowok itu juga. Mereka tergila-gila begitu Wildan menyisir rambutnya kebelakang.

"Laen-laen nih betina," kata Rachel tak terima mendengar Wildan dipuji ketampanannya. "Blom tau aja si Wildan sifatnya kek setan."

Lalu selanjutnya tatapan mereka bertemu. Seluruh tubuh Rachel tersentak. Buru-buru Rachel kabur dari sana—masuk ke gedung sekolah cepat-cepat membuat kening Wildan mengernyit heran.

Dengan santai Wildan masuk menelusuri lorong sekolah. Ciri khasnya yang selalu memasukan tangan kedalam saku celana abu-abu. Wangi parfumnya saja bisa ketinggalan dilorong hingga harumnya menyeruak lama lalu hilang dibawa angin. Wildan tidak tuli. Banyak pujian yang cowok itu dapat tapi tak pernah membuatnya besar kepala.

"DUARRRR!!!"

Ditikungan koridor Wildan di kagetkan oleh kemunculan Jaim. "Hayoo, kaget gak? Kaget gak? Kaget gak?" terka Jaim dengan wajah persis minta dijorokin ke laut.

"Ya enggaklah! Ya kali! Lo kaget makhluk bumi auto minggat ke Pluto semua. Lo kan manusia batu," Jaim tanya sendiri jawab sendiri. Agak ngenes karena Wildan datar-datar saja.

"Gak lucu," ucap Wildan mendahului Jaim.

"Wildan," suara halus nan lembut seseorang membuat Wildan dan Jaim kompak putar badan. Perempuan pemilik tatapan teduh, wajah putih pucat itu mendekat sambil tersenyum.

"Hai Maira," sapa Jaim dibalas senyum perempuan itu yang tak luntur. "Cerah banget pagi-pagi kayak masa depan. Bikin susah perasaan Abang tau."

"Ada apa nichhhh? Pasti cariin Abang Jaim, yaaaa????" Jaim mengembus napasnya kedua telapak tangan lalu menyibakkan kerambut, sok kegantengan.

"Maaf Jaim sebelumnya, tapi gue carinya Wildan," Maira tersenyum simpul dan sungkan. Suaranya lembut. Sangat sopan.

Poor. Jaim tersenyum getir.

"Wildan kok gak bimbingan olimpiade kemarin?" tanya Maira seraya memegang kedua tali tasnya erat. Perempuan XII MIPA I itu terkenal sangat cerdas. Guru SMA Jaya Biru mana yang tidak kenal? Maira ibarat copy paste Wildan namun versi cewek.

"Ada urusan penting," balas Wildan, singkat. "Lo ada yang mau ditanyakan lagi?" Wildan ingin cepat masuk kelas.

"Oh, iya. Boleh nggak pinjam soal-soal olimpiade kamu waktu kelas X? Soalnya mau bahas dikit-dikit sama adik kelas buat jadi bahan tambahan."

SELEBGRAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang