11. KEMBALI BAWA LUKA

53 19 0
                                    

11. KEMBALI BAWA LUKA

****

Dari sekolah Wildan tidak pulang kerumah. Cowok dengan seragam sekolah lengkap itu langsung bergegas mengendarai motornya. Melesat membelah keramai jalan raya disore hari menuju kesebuah tempat.

3 6 5 Day Cafe
jln. Lavender.

Wildan membuka helm. Mengacak rambutnya dan segera masuk membuat lonceng pintu Cafe berbunyi nyaring. Alhasil, seorang barista cowok— bernama Tirta yang sedang bersiul-siul membersihkan mesin espresso terkejut menengoknya.

"Gue kirain lu gak dateng?" Tirta memelankan aktivitas tangannya sambil menatap Wildan mengitari meja bar. Tanpa bertele-tele cowok itu mengambil apron hitam bertali cokelat yang tersampir untuk dikenakan.

"Ngajarin cewek yang lo ceritain kemaren itu?" tanyanya ketika Wildan mengikat tali apron kebelakang pinggangnya.

"Hm."

Lantas, manik mata Tirta mengarah ke jam dinding kayu. "Lama amat ampe 2 jam. Biasa juga lu belajar bareng anak olim kagak pernah-pernahnya selama ini gue rasa?"

"Yang ini beda," jawab Wildan, malas. Faktor kelelahan tubuh dan pikiran.

"Beda?" Tirta mikir. Sedetik kemudian tersenyum jail. "OHHH BEDA? Beda metode belajar apa beda perasaan?"

"Beda pemikiran."

"Iya, iya, iya. Paham gue paham. Ngeri juga mainan lo. Pacaran berkedok belajar," Tirta termesem-mesem menggoda Wildan yang tidak terpengaruh sama sekali untuk ikut tersenyum.

"Lo kalo dah punya pacar ngemeng-ngemeng kek, Wil. Diem-diem gercep juga lu gebet anak gadis orang."

"Inget, PJ gue blom keluar ya," sambung Tirta.

"Gue gak pacaran."

"Dark banget anjing! Siaran tipi item putih kalah buremnya ama idup lu, yakin gue," Tirta nyerocos.

Banyak sekali cewek yang naksir pada Wildan. Namun, Tirta juga gak paham kenapa cowok ini tidak tertarik sama sekali. Dari yang biasa saja hingga cantik ditolaknya. Kadang, pelanggan cafe bela-bela nunggu untuk mendapat pelayanan Wildan plus minta foto yang berakhir minta nomor handphone. Tapi namanya Wildan mana mau ngasih. Rasanya itu terlalu privasi.

"Bocah dekat rumah gue aja nih udah pada pacaran. Boncengan berdua. Tiap malming ngapel depan pos ronda. Lu aduhhh..." Tirta tak tahu lagi cara bilangnya.

"Kali-kali pacaran kek. Buku, logaritma, sin, cos, tangen, aja lo pikirin. Cewek lu cari. Masa depan tuh," lanjut Tirta.

Wildan menggeleng, ada-ada manusia sebiji ini.

Kini Tirta sanggah sebelah tangannya yang memegang serbet ke mesin espresso. Menatap serius Wildan dari tempat ia berdiri. "Emang spek-spek cewek idaman lu gimana? Mana tau gue bisa bantu buka pencaharian?"

"Gue masih SMA," bertepatan itu Tirta memukul meja bar menggunakan serbetnya— meluapkan esmosi mendengar jawaban tidak berbobot Wildan.

"Lu gay, homo apa cemana sih ngabbbb?????" Tirta mengcapek.

"Muka cakep, otak dapet, badan oke, isi dompet apalagi. Siapa coba cewek yang nolak lo? SIAPA?!!!" Tirta menggebu-gebu.

"Kalo gue cewek nih udah gue pelet, santet lo. Gue jampi-jampi biar tergoda lo sama gue."

"SMA cuman jadi figuran. Ngeliatin keuwuwan orang. Ngecie-ciein temen abistu ilang. Kasian bat dah. Pindah noh ke Mars," Tirta mengusirnya dari Bumi.

SELEBGRAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang