Shanum membuka pagar rumah terlebih dahulu agar memberi ruang untuk dirinya dan motor milik Tasya bisa masuk ke halam rumah, setelahnya kembali menutup pagar dan menuntun motor itu agar kembali terparkir di tempat semula.
"Kak Fattan,"
Nampaknya Fattan sudah pulang, atau mungkin baru saja pulang jika dilihat dari penampilannya yang masih menggunakan pakaian tadi pagi. Apalagi posisi Fattan saat ini bersandar di mobilnya dengan tangan yang bersedekap, tidak ada senyum sama sekali.
Shanum melangkah mendekati Fattan, jangan lupakan sebelah lengannya yang membawa kantong plastik berlogo Alfamart. Senyumanpun terpatri dibibirnya.
Shanum mengulurkan tangannya bermaksud untuk menyalimi tangan Fattan. "Assalamu'alaikum, Kak."
Fattan memasang muka datar, dengan mata melirik tangan yang masih menggantung tanpa berniat untuk menjabatnya.
"Wa'alaikumussalam."
Shanum yang menyadari situasi tegang saat ini menurunkan tangannya karena tak kunjunjung Fattan terima, lalu berjalan mundur satu langkah.
"Abis dari mana?"
Lagi-lagi Shanum melakukan kebiasannya, bila merasa dihadapkan dengan hal-hal yang menegangkan seperti ini pasti menunduk, tangan Shanum juga ikut bergetar. Kali ini aura Fattan benar-benar berbeda, mata itu bahkan terlihat dipenuhi oleh kilatan amarah.
"Shanum abis dari Alfamart."
Arah mata Fattan kini teralih pada sekantung plastik yang di bawa Shanum. Tatapan sinis kini dia arahkan ke arah Shanum, bahkan posisnya kini pun sudah tidak bersandar pada mobil.
"Licik!"
Shanum memberanikan diri menatap mata Fattan, mata yang terlihat teduh hanya dalam hitungan hari saja, mata itu yang kini kembali kelam dalam lautan amarah seperti sedia kala.
"Licik? Apa lagi ini?"
Muak. muak rasanya dihadapkan dengan wanita yang selalu menunjukkan sisi polosnya itu, padahal nyatanya itu semua hanyalah topeng untuk menutupi setiap kebusukannya. Itulah yang di pikirkan Fattan, mengenai wanita yang berada di hadapannya saat ini.
Tiba-tiba saja Fattan menarik kantong plastik di tangan Shanum dan melemparnya sembarang arah, setelahnya tangannya beralih mencengkaram lengan Shanum.
"Kak!"
Shanum tidak percaya dengan apa yang Fattan lakukan barusan, tanganya terasa sakit akibat cengkraman Fattan yang begitu kuat.
"Udah sesering apa, kamu ngelakuin ini?"
"Apalagi ini, Kak?"
Shanum masih berusaha untuk melepaskan cengkraman tangan Fattan, yang bahkan rasanya jauh lebih sakit dari cengkraman Fattan yang dulu.
"Lepasin, Kak," ujarnya memohon. "Shanum salah apa lagi, Kak? Kalo emang Shanum ada salah, tolong bicarakan baik-baik jangan kaya begini."
Nyatanya Fattan memang sudah dilingkupi oleh amarah, kuping laki-laki itu seolah tuli tidak mau mendengarkan omongan Shanum. Amarah yang tidak Shanum ketahui apa penyebapnya.
"Berapa lelaki yang kamu jadikan sebagai selingkuhan?"
Kini Shanum terdiam kaku, tangannya pun sudah tidak membrontak. Benarkah? Benarkah ini Fattan yang bertanya? Fattan suaminya? Semenyakitkan apapun perkataan Fattan dulu, namun ini jauh kebih menyakitkan. Sangat-sangat menyakitkan. Kalimat itu seolah menunjukkan, bahkan Shanum adalah wanita murahan, wanita yang tidak cukup dengan satu lelaki. Air mata Shanum mulai luruh tanpa bisa di bendung.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMU (Pengantin Pengganti)
General Fiction📌ON GOING Ini tentang Shanum, gadis yang usianya baru menginjak 19 tahun harus menggantikan sang kakak yang telah meninggal untuk menjadi mempelai pengantin pengganti. Fattan yang seharusnya menjadi Kakak ipar justru kini berstatus sebagai suaminya...