"Dokter, Kak Fattan sama Kak Diki kemana, kok sampai sekarang belum kembali juga?" Tasya menanyakan itu pada Dokter Adam yang duduk tidak jauh dari dirinya. Bukan apa-apa, Tasya hanya takut terjadi hal yang tidak diinginkan. Fattan dan Diki, kedua pria itu sering kali terlibat argumen dan berakhir dengan kekerasan, Tasya tau itu. Apalagi dengan masalah ini, Tasya yakin Diki tidak akan tinggal diam.
Mau bagaimanapun Fattan adalah kakaknya, mau sekecewa apapun dia pada lelaki itu tetapi hati kecil dia terus merasakan khawatir pada Fattan. Meski ia tau pria yang tengah bersama Fattan kini adalah Diki, pria dewasa yang memiliki pola pikir yang baik dan pandai menempatkan suatu masalah. Tapi keduanya sama-sama dewasa, jika sudah masuk tahap emosi belum tentu semuanya bisa terkendali.
"Saya kurang tau. Emang kenapa?"
"Takut mereka berantem," ujar Tasya lesu.
Dokter Adam terlihat mengerutkan dahinya. "Kamu nggak perlu khawatir. Diki nggak mungkin ngelakuin kekerasan tanpa sebab."
Perkataan Dokter Adam bukannya menenangkan, kini justru malah membuat Tasya semakin takut.
"Mau kemana, Tas?" panggil Fahmi ketika melihat Tasya bangkit dari duduknya.
Tasya hanya melirik Fahmi tanpa menyahuti. Dia harus mencari keberadaan Fattan dan Diki, sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi. Kali ini dia tidak percaya pada kedua pria itu, terutama Diki. Pria itu memang dewasa, tapi juga perasa.
Meski sikap Tasya yang acuh padanya, Fahmi tetap mengikuti langkah Tasya, ia tidak boleh membiarkan gadis itu sendirian.
Sawitri mencegat lengan Dilla ketika gadis itu akan ikut juga bersama Fahmi dan Tasya. "Kamu disini aja," ujar Sawitri. Dan akhirnya Dilla hanya bisa nurut pada perintah Sawitri.
Dokter Adam juga mengikuti Tasya dan Fahmi, tanpa mengeluarkan suara apapun.
****
"Mereka dimana, coba" dumel Tasya mulai frustasi. Setelah mencari ke berbagai sudut sampai kantin rumah sakit pun mereka tetap tidak ditemukan.
"Parkiran," usul Dokter Adam. "Kalau mobil mereka nggak ada di sana, berarti mereka pergi keluar." Tasya menganggukkan kepalanya, benar juga apa yang dikatakan Dokter Adam, kenapa dia tidak kepikiran sedari tadi. "Dokter Adam benar," katanya lalu mulai melangkah pergi menuju parkiran bersama Dokter Adam. Sedangkan Fahmi hanya bisa menghebuskan nafas dengan kasar melihat hal itu. Lagi-lagi dia ditinggal.
Sementara itu di tempat lain Hanin tanpak terlihat cemas. Matanya terus-menerus tertuju pada jam yang melingkar pada pergelangan tangannya. Malam ini jalanan tanpak lebih sesak karena di penuhi oleh banyaknya kendaraan yang melintas tidak seperti hari-hari biasanya. Biasanya macet tapi tidak separah ini.
Di balik kursi penumpang itu Hanin lagi-lagi menghembuskan nafas gusar. Bagaimana tidak, pikirannya terus membawa pada kedua putrinya yang kini terbaring lemah dirumah sakit. Dia terus memikirkan, bagaimana kedaan Naura dan Shanum nanti apalagi dengan keadaan mereka yang begitu mengkhawatirkan.
Mobil lagi-lagi berhenti, ntah apa sebenarnya yang terjadi hingga membuat jalanan tidak stabil seperti ini.
"Ada apa sih sebenarnya Pak, kenapa jalanan bisa semacet ini?" tanyanya pada supir taksi yang dia tumpangi ini.
"Saya kurang tau Bu, tapi sepertinya terjadi kecelakaan di depan sana."
Hanin langsung mengucapkan kalimat istighfar dalam hatinya. Ia berdoa semoga orang yang tengah ditimpa musibah itu kini dalam keadaan baik-baik saja dan berharap dirinya dijauhkan dari hal semacam itu.
"Ibu mau turun di sini saja, atau tetap saya antarkan sampai tempat tujuan Ibu? Saya tidak yakin bisa mengatarkan Ibu dengan waktu yang cepat," Imbuh Pak supir merasa tidak enak hati. Pasalnya mereka sudah cukup lama terjebak dalam kemacetan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMU (Pengantin Pengganti)
Ficción General📌ON GOING Ini tentang Shanum, gadis yang usianya baru menginjak 19 tahun harus menggantikan sang kakak yang telah meninggal untuk menjadi mempelai pengantin pengganti. Fattan yang seharusnya menjadi Kakak ipar justru kini berstatus sebagai suaminya...