Diary...
Hari ini aku kembali lagi dengan kisah hidup yang akan kembali aku ceritakan.
Aku terlalu capek memendamnya diary..
Ku harap, kamu masih mau bertahan dengan lembaran-lembaran kosong yang masih aku butuhkan untuk mengisinya dengan goresan pena kisah hidupku.Kamu tahu ... rasanya baru kemarin aku bisa merasakan bahagia yang sesungguhnya.
Bahagia yang tidak pernah aku dapatkan selama ini.
Aku kira itu adalah suatu hal yang akan selalu bertahan tanpa ada batas waktu kadaluarsa.
Nyatanya itu semua hanya polesan dari kisah hidupku yang monoton ini.Kata bahagia sepertinya memang tidak berpihak kepadaku.
Apa aku harus mengumumkan dulu penyakit ini agar apa yang aku inginkan terwujudkan, walau kenyataan pahitnya hanya berkedok rasa simpati.Shanum menghentikan gerakan tangannya yang sedari tadi menari-nari di atas buku diary ditemani pena digenggamannya. Serasa tidak ada lagi yang perlu dirinya tulis, Shanum menutup bukunya dan menaruhnya kembali kedalam laci.
Dia masih sama seperti anak seumurannya. Shanum hanyalah seorang gadis remaja yang hendak beranjak dewasa. Dalam hidupnya masih benar-benar butuh bimbingan orang dewasa, dia masih butuh tempat untuk bersandar dari setiap masalah yang dihadapinya, dia butuh tempat untuk menceritakan segala keluh-kesahnya. Namun kini, kedaan seolah memaksanya untuk bertahan dengan sikap kedewasaan.
Masih bertahan dengan posisinya yang terduduk di kursi kayu, Shanum mengarahkan pandangannya menatap keluar jendela yang menampilkan awan biru teramat cerah yang jelas tidak seperti hatinya. Shanum masih menanti kejutan apa yang akan kembali menerjang hidupnya.
"Semoga apa yang Shanum lakukan dan dapatkan selama ini, itu semua atas ridho Allah. Dan apapun takdir-Mu ya Allah, In Syaa Allah, Shanum Ikhlas," ucapnya lirih.
Shanum tidak sepolos dan sebodoh itu. Dia tahu bahwa hidupnya tidak akan bertahan lama, bahkan dia tahu pengobatan yang selama ini dilakukannya bukan bertujuan untuk menyembuhkan, tapi untuk bertahan. Shanum tahu itu. Selama ini, dia hanya menghargai Neneknya yang begitu perduli akan dirinya. Jika bisa memilih, Shanum lebih memilih tiada karna sakit ini daripada hidup dengan keadaan yang seperti ini. Karena menurutnya, semuanya akan lebih baik setelah ia benar-benar pergi.
Tapi itu semua hanyalah pemikiran yang bodoh.
Shanum mengakuinya.
****
Fahmi masih menatap takjub penampakan yang begitu langka ini. Seorang Tasya yang Fahmi ketahi merupakan anak bontot yang manja, tiba-tiba berkedok menjadi Ibu rumah tangga yang begitu rajin. Fahmi tidak lupa mengabadikan kegiatan sang pujaan hatinya ini yang menurut dia sedang belajar menjadi istri yang baik dalam membenah rumahtangga mereka nanti.
"Udah dong Fahmi, gue bukan artis!"
"Kaya paparazi, ihh!" omel Tasya yang kini sedang menyapu halaman rumahnya yang begitu kotor dengan serakan ranting pohon dan daun yang berguguran di mana-mana. Sedari Tasya menahan rasa kesal terhadap tetangganya ini. Dari mulai ngepel, nyampu lantai, bahkan sekarang ini saat menyapu halaman rumah pun tidak luput dari rekaman handphone lelaki itu.
"Ini biar terabadikan, Tas. Anak cucu kita harus liat ini, nanti."
"Yang ada memory HP lo penuh Fahmi!"
Fahmi menggeleng dengan masih melihat beberapa poto Tasya yang sempat ia ambil tadi. "HP Sultan, tenang. Lagian lo sering penjem Hp gue buat poto sama bikin video."
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMU (Pengantin Pengganti)
General Fiction📌ON GOING Ini tentang Shanum, gadis yang usianya baru menginjak 19 tahun harus menggantikan sang kakak yang telah meninggal untuk menjadi mempelai pengantin pengganti. Fattan yang seharusnya menjadi Kakak ipar justru kini berstatus sebagai suaminya...