21 | Ace of Clubs

10.4K 1.9K 195
                                    

Hari ini Jannah berbeda. Jika biasanya ia mengenakan dress di atas lutut dan memamerkan bahu 90 derajat atau punggung mulusnya, kali ini benar-benar bergaya di luar khasnya.

Dengan kemeja putih lengan panjang oversized yang ia masukkan ke dalam celana highwaist berwarna moka. Tidak lupa, Jannah mengancinginya sampai kerah dan menambahkan scarf bermotif leopard yang melingkar manis di lehernya. Semua itu tentu saja dilakukannya untuk menutupi tanda kemerahan yang Candra ciptakan.

Begitu turun dari mobil Candra, Jannah tidak langsung disambut oleh dua satpam yang berjaga di depan butik seperti biasa. Wajar saja jika mereka tidak mengenalinya sekilas. Ditambah Jannah menggunakan masker. Meski begitu, tidak lama kemudian mereka pun sadar jika yang baru saja melewati pintu masuk butik adalah bosnya sendiri. Terlihat open toe heels 3 senti yang memperlihatkan jempol kaki Jannah yang masih dibalut plester, persis seperti kemarin.

Sesampainya di ruangan, Jannah terlebih dulu menuangkan hand sanitizer ke tangan. Memastikan tangannya bersih sebelum menyentuh apa pun di sekitarnya.

Jam-jam istirahat masih lama. Waktu di mana Hamish beraksi dengan mengganggunya. Khusus hari ini, perempuan itu menunggu kehadiran sang pengusik.

Sambil menunggu matahari semakin terik, Jannah mulai berkutat pada pekerjaannya. Terlalu fokus pada kegiatannya hingga tidak menyadari jika "waktu" terkadang menjadi hal relatif. Terasa lama bagi orang yang sedang bosan, terasa cepat bagi orang yang begitu menikmati apa yang dilakukannya.

Ketukan pintu ruangannya membuat Jannah menoleh. Didapatinya salah satu karyawan butik tengah menatap Jannah, khawatir. "Ada apa?"

"Ada orang itu lagi, Bu. Kali ini dia maksa masuk. Kalau nggak, dia ngancam mau buat kekacauan."

Sebelah alis Jannah menukik mendengarnya. Jelas, alasan tersebut hanyalah akal-akalan Hamish. Karena sekalipun mereka sudah tidak bersama, baik Jannah maupun Hamish saling tidak menyukai keributan dan menjadi tontonan publik. "Suruh dia masuk."

Perempuan yang berdiri di ambang pintu Jannah pun terbeliak mendengar ucapan dari bosnya. "M-masuk, Bu? Ke butik???"

Jannah mengembuskan napas. "Iya. Antar ke ruangan saya juga."

"Hah? Serius, Bu? Ibu nggak mau panggil polisi aja?"

Mau tidak mau, Jannah mendengus geli. "Nggak apa-apa. Saya nggak bakal kenapa-napa. Kalau iya, kamu bisa bawa kopi panas ke sini nanti."

"Buat apa, Bu?"

"Buat kamu siram ke wajahnya." Jannah lantas mengedikkan dagu ke arah pintu ruangannya. "Gih, bawa ke sini orangnya."

"Siap, Bu."

Sebelum pintu kembali terbuka, Jannah terburu-buru melepaskan scarf dan membebaskan dua kancing teratas kemejanya. Tidak lupa, ia juga mengikat rambutnya asal sehingga tidak menghalangi pemandangan Hamish nanti.

Keputusan yang tepat dengan melakukannya segera karena beberapa menit kemudian, sosok yang telah ditunggu olehnya pun masuk.

"Jannah, is that you?"

Pertanyaan itu menjadi pemecah keheningan di antara mereka. Hamish, yang sempat bingung karena perempuan yang tengah berdiri membelakanginya, satu-satunya yang berada di ruangan tersebut, nyaris tidak tampak seperti Jannah. Belum lagi alas kaki rendah yang jauh dari karakter Jannah. Hamish tahu betul, Jannah tidak pernah lepas dari heels di atas 7 senti.

"Mau apa lagi?" Jannah berbalik tanya seraya memutar tubuh, menghadap Hamish yang kini tertegun dengan apa yang dilihatnya. Berkat masker, Jannah pun bisa tersenyum puas dengan leluasa akan reaksi lelaki di hadapannya. "Kamu cuma buang-buang waktu."

House of Cards #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang