"Nggak apa-apa kan, Dis, kalau lo nambah job?" Tanya Putra, salah satu teman seangkatan Adis yang saat ini menjabat sebagai ketua MABIM atau malam bimbingan yang biasa diadakan satu kali dalam setahun di fakultasnya.
Di kegiatan kali ini, Adis berkesempatan menjadi panitia humas yang bertugas untuk menghubungi para narasumber dan juga pihak-pihak yang bersangkutan dengan acara. Karena partner kerjanya di humas mengundurkan diri, Adis hanya bekerja sendiri. Dan penambahan isi materi di acara MABIM membuatnya harus menambah pekerjaan karena ada pemateri tambahan. Adis tak masalah dengan itu. Namun masalahnya adalah orang yang harus ia hubungi adalah Rafdi.
"Em.. ya, nggak apa-apa, Put." Jawab Adis pasrah. Dan ia pun makin pasrah saat siang ini ia harus mendatangi Rafdi di ruangan lelaki itu untuk membicarakan acara yang akan diadakan dua minggu lagi di kampusnya."Jadi saya cuman mimpim diskusi kelompok aja kan nanti?" Rafdi bertanya sambil matanya masih sibuk membaca proposal yang baru saja Adis serahkan tadi.
Adis pun mengangguk, "Iya, Kak. Sama mungkin beres mandu diskusi atau sebelumnya Kak Rafdi bisa sharing juga terkait pengalaman Kakak di himpunan waktu Kakak kuliah dulu."
"Hm.. oke." Rafdi mengangguk. Lelaki itu lalu menutup proposal dan menyerahkannya pada Adis, membuat Adis mendadak gugup karena Rafdi menatapnya. Sungguh, ia masih merasa malu.
"Saya kebagian ngisi jam sembilan malam, ya? Apa nggak kemaleman?"
"Acaranya memang sampai jam sebelas malam, Kak."
"Oke, saya cuman takut diskusi nggak efektif kalau malam-malam begitu."
"Mungkin itu tantangannya, Kak." Balas Adis bercanda. Dengan kaku, ia terkekeh. Untungnya, Rafdi ikut terkekeh.
"Oke deh, kalau gitu. Insyaallah saya siap."
"Alhamdulillah, makasih banyak ya, Kak."
Rafdi pun mengangguk sambil tersenyum.
Karena merasa tak ada yang harus dibicarakan lagi, Adis pun mengambil proposal di meja dan hendak berdiri. Namun belum sempat ia berdiri, Rafdi sudah berkata.
"Btw, magang kamu di Lab gimana? Lancar?"
Adis yang tak menyangka ditanya seperti itu pun tanpa sadar melebarkan matanya. "Alhamdulillah, Kak." Balas Adis seadanya.
"Jadwal magang kamu sama jadwal ngajar saya nggak sama, jadi saya jarang liat kamu di Lab. Kamu megang praktikum tes minat bakat kan ya?"
Adis mengangguk, "Iya, Kak."
"Sely nggak nyebelin, kan?" Tanya Rafdi menyebutkan salah satu aslab yang terkenal menyebalkan dan galak di kalangan mahasiswa. Dan anehnya, Rafdi selaku aslab pun mengakui bahwa rekan kerjanya itu menyebalkan.
"Nggak kok, Kak. Malah Kak Sely nggak mempermasalahkan alasan kenapa saya bantu-bantu di Lab." Adis tersenyum kecil. Sungguh, tadinya ia takut bahwa para aslab lainnya akan mempermasalahkan ia yang magang di Lab karena ketahuan menjadi joki. Mau bagaimana pun juga itu aib yang memalukan.
"Berarti sogokan saya mempan." Balas Rafdi terkekeh. "Saya sebetulnya bakal memperkirakan Sely bakal ketus kalau tahu alasan kenapa saya minta kamu bantu-bantu di Lab. Jadi sebelum itu, saya bertindak duluan."
Adisa mengerjap. Rasanya aneh, karena di sini ia yang bersalah lalu kenapa Rafdi harus repot-repot membantunya?
"Padahal nggak apa-apa, kok, Kak. Toh, kan memang saya yang salah."
"Saya tahu kamu salah. Tapi saya nggak mau kamu tertekan dengan hukuman sosial juga. Saya rasa kamu sendiri pun sudah cukup merasa terhukum dengan diri sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Flawsome | Seri Self Healing✅️
General FictionHidup Adisa selalu rumit. Semesta pun kadang melupakannya. Maka yang selama ini Adisa pikirkan hanyalah bagaimana caranya ia melindungi dirinya sendiri. Dan kehadian Rafdi di hidupnya mengajarkan Adis bagaimana rasanya dilindungi dan dihargai. Denga...