[14]

545 82 1
                                    


Setelah pertanyaan jebakan Rafdi, Adis hanya meringis. Sedikit malu untuk mengakui bahwa ia tidak percaya diri dengan dirinya sendiri. Rafdi yang melihat tanggapannya pun hanya menghembuskan napasnya pelan, lalu mengajaknya untuk keluar dari mobil.

Selama mereka makan, Rafdi mengajaknya mengobrol topik yang lebih ringan, seperti; ramen terenak menurutnya, minuman yang ia sukai, hobinya yang baca buku dan juga pengalamannya selama kuliah magister profesinya. Adis juga berusaha membicarakan hal ringan mengenai dirinya. Sayangnya, Adis baru menyadari bahwa hidupnya sangat tak menarik. Ia hanya membagikan kisah mengenai kehidupan kuliahnya dan juga keinginannya untuk bisa cepat dapat kerja. Rafdi sempat menanyainya mengenai makanan favorit ataupun hobinya, tapi Adis benar-benar tak memiliki kesukaan apapun.

"Saya suka apa aja, sih." Ujar Adis ketika Rafdi bertanya genre film kesukaannya.

"Dari tadi jawabnya itu mulu." Gerutu Rafdi sambil memakan dimsum yang dipesannya. Omong-omong, Rafdi memesan banyak sekali makanan ringan. Adis sudah menolaknya, tapi katanya Rafdi sedang butuh makan banyak. Setelah selesai memakan satu mangkok besar ramen, lelaki itu masih asik mengunyah sushi, dimsum, dan cemilan lainnya. Rafdi pun menolaknya ketika ia akan ikut membayar. Katanya, yang mengajak keluar itu Rafdi, oleh karena itu, Adis tak boleh mengeluarkan uang selama mereka bersama hari ini.

Adis meringis. "Dari kecil saya nggak terbiasa untuk melakukan hal yang saya sukai, Kak." Cerita Adis. Dulu, setiap Adis punya kesukaan ataupun keinginan, Ibunya selalu menekannya untuk berhenti menyukai sesuatu yang mungkin sulit untuk dilakukan. Katanya, lebih baik berusaha menyukai apa yang kita punya daripada menyukai hal yang belum tentu kita punya.

Rafdi terdiam. Sepertinya suasana jadi canggung karena Adis mengungkit masa kecilnya. Masa yang tak terlalu ingin Adis ingat.

"Kabar Ibu dan Mbak kamu gimana?" Tanya Rafdi ragu.

Adis tersenyum kecil. Sejak ia menelpon Ibunya minggu lalu, Adis tak berani lagi menghubungi. Bahkan saat kemarin Nasya mengatakan bahwa Ibunya sedang ada di Bandung untuk mengurus keperluan kepindahan pun Adis tak menemuinya. Ia hanya tak siap. Ia pun sangat malu dan merasa bersalah karena selama ia menumpang hidup dengan Ibunya, ia tak pernah membantu apa-apa. Adis pun sudah memutuskan untuk tinggal di Bandung saja. Ia tak mungkin meninggalkan kuliahnya. Untuk urusan keberlangsungan hidupnya, biarlah Adis berjuang sendiri. Untungnya, mulai besok ia bisa sewa kosan murah lewat tabungannya. Meskipun ia harus sekamar berdua dengan orang lain demi menghemat biaya sewaannya, ia tak apa. Setidaknya ia tak harus menumpang lagi.

"Saya belum siap ketemu mereka. Mungkin nanti saya bakal ke Garut buat ketemu Ibu."

"Kamu mutusin buat tetap di Bandung, kan?"

Adis mengangguk, "Saya nggak mungkin ninggalin kuliah, kan?" Ia mengaduk-aduk ramennya. Nafsu makannya mendadak hilang.

"Makan lagi aja." Seru Rafdi mengalihkan pembicaraan. "Urusan keluarga kamu, kita simpen dulu. Sekarang kamu makan dulu aja. Dimsumnya juga abisin. Habis itu kita nonton, ya?"

"Nonton?"

"Iya." Rafdi mengangguk semangat. "Saya udah lama nggak nonton."

Adis meringis. Mereka ini tak sedang kencan, kan?

"Kenapa? Nggak mau?"

"Bukan gitu. Aneh aja kalau saya harus nonton sama Kak Rafdi." Adis mengutarakan pendapatnya.

"Memang kenapa?"

"Kalau ada orang kampus liat gimana?"

Rafdi mengernyit, "Memang kenapa?"

"Kalau orang lain nyangkanya kita punya hubungan gimana?" Cicit Adis. Merasa malu dengan pertanyaannya sendiri.

"Wajar aja kalau mereka berpikiran seperti itu. Toh, kita sama-sama lajang, kan?" Rafdi menjawab tenang. Dan ketenangan itu semakin buat Adis gusar.

Flawsome | Seri Self Healing✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang