Sejak kejadian Rafdi mengetahui tindak kejahatannya, Adis sadar bahwa ia tak bisa terus mengerjakan pekerjaan itu. Meskipun itu salah satu pekerjaan yang sangat menguntungkan untuknya, tapi ia tak bisa terus merasa bersalah lagi. Lagi pula ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk mendapat uang dengan cara yang lebih baik. Sayangnya, Edo, salah satu kakak tingkatnya yang menggunakan jasanya tidak terima karena Adis memutuskan kontrak kerja sama mereka secara tiba-tiba.
"Lo kok seenaknya sih, Dis?" Edo bertanya setelah sebelumnya menyeret Adis ke salah satu ruangan kosong di ujung gedung. Ruangan itu jarang dipakai karena terlalu kecil untuk dipakai kelas, hanya beberapa kali mahasiswa yang diam di situ, dan Adis sangsi akan ada yang melihatnya dengan Edo sekarang.
"Aku minta maaf, Bang. Tapi aku bener-bener nggak bisa lanjut lagi."
"Tapi gue udah bayar lo, Dis!"
"Iya tahu. Uang yang Bang Edo kirim nanti aku transfer, tapi minggu depan."
Sejak awal semester, Edo sudah mengirim uang cukup banyak padanya, lelaki itu meminta agar Adisa bisa mengerjakan tugas-tugas yang ada selama semester enam berlangsung. Dan lelaki itu tak terima jika Adis memutuskan kontrak di saat semester ini belum selesai.
"Tapi proposal kualitatif belum selesai, Dis. Lo yang mulai ngerjain tugas yang itu, dan yang bisa nyelesaian cuman lo." Edo masih tak terima.
"Abang tahu kan kemarin kita ketahuan sama Kak Rafdi? Kak Rafdi itu tahu apa yang kita lakuin, Bang." Adis menatap jengah Edo. Tak habis pikir kenapa Edo masih mau melanjutkan ini di saat mereka sudah ketahuan.
"Itu karena lo ngerjainnya nggak bener, Dis. Coba kalau lo nggak ceroboh dengan ngirim laporan nama gue pake email lo. Lo harusnya lebih teliti lagi."
Adis menghembuskan napasnya kasar. Edo masih menatapnya menuntut, tubuh tingginya berdiri tepat di depannya, membuat Adis semakin terintimidasi.
"Sorry, Bang, karena aku ceroboh. Tapi maaf banget karena aku tetep nggak bisa lanjutin ini." Setelah berkata seperti itu, Adis langsung berjalan meninggalkan Edo. Namun baru tiga langkah ia berjalan, Edo sudah mencekal pergelangan tangannya membuat ia merintih karena cekalan Edo sangat kencang.
"Bang!"
"Gue nggak suka dipermainkan kayak gini, Dis. Lo kan tahu gue harus ningkatin IPK gue semester ini. Lo juga udah janji mau bantu gue."
Adis memejamkan matanya sejenak, berusaha mengontrol dirinya. Ia menyesal. Sangat menyesal. Dulu temannya pernah berkata untuk tidak berurusan dengan Edo. Sejak dulu Edo sudah memperlihatkan perilaku tidak baik di kampus, namun karena ayahnya salah satu dosen di kampusnya membuat Edo masih bisa tetap bertahan walaupun pernah beberapa kali terjerat kasus. Adis tak pernah paham kenapa Edo harus terus berusaha bertahan di kampus walaupun setiap hari lelaki itu tak pernah benar-benar menunjukkan ketertarikannya untuk belajar.
Dan sekarang, Adis benar-benar tak tahu harus bertindak bagaimana. Apalagi saat ia sadar tangan Edo sudah berpindah ke pinggangnya membuat Adis langsung tersentak kaget.
"Gue bakal nyebarin info kalau lo udah ngejoki selama hampir satu semester ini, Gis." Bisik Edo sambil meremas pinggang Adis.
Adis terdiam, tak bisa menghindar karena entah kenapa kakinya tiba-tiba tak bisa digerakkan. Suasana kampus yang sudah sore ditambah tempat mereka berdiam cukup jauh dari keramaian membuat Adis semakin ketakutan. Apalagi sekarang Adis bisa merasakan bahwa Edo sudah mendekatinya.
"Bang-" Adis berusaha menghindar, namun cekalan tangan Edo masih ada, dan semakin keras.
"Lo harus selesaikan apa yang harus lo selesaikan, Dis." Kata Edo dengan tangan yang sudah berpindah ke tengguk Adis, "Kalau nggak, gue mungkin bakal lost control."
"Bang, aku tetep nggak bisa." Jawab Adis pelan.
"Hm, gitu, ya?" Edo tersenyum miring sambil menatap Adis dari samping. Kepala lelaki itu sudah ada di samping wajah Adis sekarang dan tangannya yang tadinya ada di tengkuk Adis turun ke bawah, ke bahu Adis dan kembali meremasnya.
"Btw, gue udah pernah ngomong belum sih, Dis, kalau lo itu cantik?"
Adis memejamkan matanya kembali, alarm peringatan sudah ia terima sejak tadi, pemberontakan yang ia lakukan semakin tak bisa karena lelaki itu sudah memeluk pinggangnya. Saat wajah Edo mendekati wajahnya, ia sudah akan berteriak, tapi belum sempat Adis berteriak, suara dering ponsel dari arah salah satu kelas langsung membuat Edo menjauhkan dirinya dan Adis menghela napas lega.
Edo menengok ke belakang, mencari asal suara. Dan saat Edo lengah, Adis pun langsung berlari ke luar kelas. Dengan badan yang bergetar, Adis terus berlari ke tempat yang lebih ramai. Adis melihat Edo yang berlari mengejarnya, tapi lelaki itu pun memutuskan pergi setelah sebelumnya menatap tajam Adis. Edo tidak akan berani macam-macam padanya jika mereka ada di tempat yang ramai. Adis pun langsung menghela napas panjang, setidaknya hari ini ia bisa lolos.
Tanpa sadar ia pun berjongkok dan menutupi wajahnya dengan tangan. Beberapa mahasiswa yang ada di lorong kelas pun menatap heran Adis, tapi Adis tak peduli. Ia sedang butuh waktu untuk menenangkan dirinya sendiri.
"Kamu nggak apa-apa?" Tanya seseorang membuat Adis langsung mendongkak dan ia mendapati Rafdi yang menatapnya cemas.
Rafdi lalu ikut berjongkok dan memegang pundak Adis, "Ada yang sakit?" Tanyanya.
Adis mengernyit sejenak lalu menggeleng.
"Kamu nggak diapa-apain, kan?" Pertanyaan Rafdi membuat Adis melebarkan matanya, "Kak Rafdi, tahu?"
"Saya ada di kelas sebelah tadi."
Adis lalu bangkit berdiri, "Saya permisi, Kak." Pamitnya. Lebih baik ia menghindar daripada ia harus menghadapi Rafdi yang harus memergokinya. Adis tak menduga bahwa Rafdi ada di sana tadi. Ia benar-benar malu sekarang.
"Saya udah punya bukti." Rafdi mengejar Adis dan berjalan di samping gadis itu.
"Saya rekam pembicaraan kalian tadi."
"Kak," seru Adis tak terima. "Saya udah janji nggak akan ngelakuin itu. Jadi saya mohon untuk nggak memperumit masalah ini."
"Tapi dia udah ngancam kamu, kan?"
"Makasih udah bantu saya tadi, Kak. Dan mohon maaf, itu bukan hal yang harus Kakak urusi."
Adis lalu mempercepat langkahnya. Ia benar-benar malu sekarang. Ia sudah terlalu malu karena Rafdi mengetahui pekerjaan rahasianya, dan sekarang ia harus menanggung malu lagi karena Rafdi mendengar percakapannya dengan Edo tadi.
"Oke, saya nggak akan ikut campur." Rupanya Rafdi masih belum menyerah, karena sekarang lelaki itu ikut berjalan cepat di samping Adis. "Tapi kamu ke ruangan saya dulu."
"Ada apa?" Tanya Adis langsung.
"Kamu nggak liat tangan kamu gemeteran gitu?" Pertanyaan Rafdi membuat Adis menatap tangannya yang memang gemeteran. Sungguh, ia memang setakut itu tadi. Ia takut Edo melakukan hal-hal yang tidak ia inginkan. Apalagi ia teringat, dulu Edo pernah terjerat kasus pelecehan seksual.
"Ikut saya, kamu tenangin diri kamu di ruangan saya aja." Tanpa persetujuannya, Rafdi menarik Adis untuk berjalan menuju ruangannya.
"Ini." Rafdi memberikan sebotol air putih pada Adis yang sekarang sudah duduk di salah satu kursi di ruangan Rafdi.
"Kalau kamu udah mulai tenang, kamu boleh pulang." Kata Rafdi lagi.
"Makasih, Kak." Hanya itu yang Adis katakan.
Awalnya Adis merasa cemas jika Rafdi akan melanjutkan pembicaraan mereka atau lelaki itu akan bertanya lebih lanjut kepada Adis, tapi ternyata, Rafdi tidak mengatakan apa-apa. Lelaki itu hanya diam dengan mengetik sesuatu di laptopnya sambil sesekali meliriknya yang juga ikut terdiam.
Dan perlakuan Rafdi sekarang, cukup menenangkan diri Adis yang sempat terguncang tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Flawsome | Seri Self Healing✅️
Ficção GeralHidup Adisa selalu rumit. Semesta pun kadang melupakannya. Maka yang selama ini Adisa pikirkan hanyalah bagaimana caranya ia melindungi dirinya sendiri. Dan kehadian Rafdi di hidupnya mengajarkan Adis bagaimana rasanya dilindungi dan dihargai. Denga...