[16]

532 86 2
                                    


"Nitip Adisa lagi, ya." Ujar Rafdi lagi saat ia baru saja mengantar Adis untuk masuk ke salah satu kamar tamu di rumah Dewi.

Dewi yang sejak tadi mendapati Rafdi dan Adis di depan rumahnya hanya mengernyit. Tak menyangka bahwa lagi-lagi ia harus menjadikan rumahnya sebagai tempat penitipan.

"Bukannya kata lo Adis udah ada kosan?" Tanya Dewi. Ia ingat, Rafdi pernah berkata bahwa ia pernah membantu Adisa pindah kosan.

"Iya, tapi dia sekamar sama orang lain. Adis lagi butuh privasi sekarang." Jelas Rafdi. Raut khawatirnya masih tampak ada. Sesekali ia juga melirik pintu kamar tamu, tempat Adis masuk tadi.

"Dan pilihan lo ke sini?" Jengkel Dewi.

"Cuman lo yang punya rumah besar, kamar banyak, dan kosong."

"Bayar sewanya." Ujar Dewi judes.

"Iya, nanti gue bayar." Seru Rafdi sebal.

"Lo kenapa peduli banget sama itu anak, sih?" Dewi tak tahan untuk tak bertanya. "Adis pacar lo?"

Rafdi menggeleng, "Belum."

"Belum?" Beo Dewi.

"Gue nggak ada niat pacaran." Jelas Rafdi langsung.

"Terus?"

"Ya gitulah pokoknya." Kata Rafdi tak ingin memperpanjang obrolan. Ia masih sangat khawatir akan kondisi Adis. Tadi sore, ia memang sempat melihat Adis mengobrol dengan seorang wanita paruh baya di taman fakultas. Setelah wanita itu pulang, ternyata Adis tetap diam di taman tanpa melakukan apa-apa. Rafdi yang memperhatikan itu dari jendela Lab mulai khawatir. Jelas sekali, pasti terjadi sesuatu pada gadis itu.

"Gue tahu lo baik, tapi nggak sampai harus segininya, Rafdi." Dewi berkata serius. Sejujurnya, ia sedikit muak dengan sikap Rafdi yang terlalu baik pada siapapun. Sudah banyak korban yang terlena karena kebaikan lelaki itu. Menganggap bahwa Rafdi memiliki perasaan di saat lelaki itu hanya berbuat kebaikan antar sesama manusia aja.

"Kalau anak itu baper gimana? Udah sering banget lo ngebaperin anak orang." Seru Dewi lagi dengan nada kesal.

Rafdi menghela napasnya. Ia tahu. Sudah sering teman-temamnya mengingatkannya agar untuk tak terlalu bersikap baik pada siapapun. Namun, untuk Adisa.. Rafdi benar-benar melakukannya karena keinginan pribadi, bukan atas dasar kemanusiaan. Adis sudah cukup banyak menarik perhatiannya akhir-akhir ini. Dan ia tak bisa menahan dirinya untuk selalu berada di samping gadis itu.

"Apalagi Adisa kayaknya tipe anak yang lugu. Kalau lo ngebaperin dia, kasian."

"Gua nggak akan nyakitin Adisa, Wi." Dengus Rafdi. Melihat Adisa menangis saja ia sudah sangat cemas, bagaimana mungkin ia akan menyakiti gadis itu?

"Tapi sikap lo bisa bikin dia sakit hati." Keukeuh Dewi.

"Kalau dia baper, gue bakal tanggung jawab." Tegas Rafdi akhirnya. "Apa yang gue lakuin ke dia, murni karena gue pingin."

"Lo suka sama anak itu?" Tanya Dewi tak percaya.

"Kalau iya memang kenapa?" Rafdi balik bertanya. Sungguh, sebenarnya ia kurang suka dengan sikap Dewi yang selalu menekannya seperti ini. Tapi saat ini, hanya Dewi yang bisa membantunya untuk menitipkan Adisa. Jika boleh, Rafdi bahkan lebih memilih membawa Adisa ke kontrakannya daripada ke rumah Dewi.

Dewi menatap Rafdi tak percaya. Pernyataan itu sungguh tak diduganya bisa keluar dari mulut Rafdi yang bahkan sangat jarang tertarik pada seorang wanita.

"Serius?" Tanyanya.

Rafdi mendengus mendengarnya. Ia mengalihkan pandangannya, malas berhadapan dengan Dewi. Pikirannya masih penuh dengan Adisa.

"Raf, lo suka sama anak kecil?"

Rafdi mendelik, "Adisa udah dewasa. Udah boleh untuk menikah."

"Ya tapi.. kenapa Adisa?" Tanya Dewi heran.

"Memang kenapa?" Tanya Rafdi sedikit kesal. Ia memang sangat jarang tertarik dengan perempuan, dan menurutnya, Adis sangat menarik dan layak untuk diperjuangkan.

"Lo aneh." Dewi berujar lalu berdiri. "Kalau lo mau pulang, silahkan. Gue mau masuk kamar. Dan Adisa cuman boleh nginep di sini sehari. Rumah gue bukan hotel." Setelah itu, dengan cuek, Dewi pun masuk ke kamar, meninggalkan Rafdi yang masih dilanda kecemasan.

Rafdi melirik kembali pintu kamar yang baru saja dimasuki oleh Adis. Tak ada tanda-tanda gadis itu akan keluar. Rasanya, Rafdi ingin terus berada di sisi Adis. Ia tak ingin Adis merasakan sedih sendirian, tapi, ia juga sadar ia bukan siapa-siapa bagi Adis. Maka, Rafdi pun memutuskan untuk pulang dan akan kembali lagi besok pagi.

Sayangnya, saat jam setengah tujuh pagi Rafdi datang ke rumah Dewi. Wanita itu mengatakan bahwa Adis sudah pulang. Rafdi bahkan sengaja datang pagi agar bisa menemui gadis itu, tapi Adis bergerak lebih cepat dari dugaannya. Dan sayangnya lagi, di kampus Rafdi sama sekali tak menemukan keberadaan Adis. Bahkan sampai satu minggu lamanya.

Dan tidak ada yang tahu keberadaan gadis itu.

***

Rafdi menghela napas lagi saat ia tak menemukan Adisa di Lab. Ia mendekati Irma, salah satu asisten lab dan juga teman seangkatan Adisa. Ia pun duduk di sebelahnya. Sambil berpura-pura membuka laptop, Rafdi berkata, "Adisa belum ada kabar?"

Irma sedikit terkejut saat Rafdi tiba-tiba bertanya, "Belum, Kak. Tapi kerjaan dia di Lab udah selesai semua, sih. Adis cuman minta ijin untuk nggak jaga piket dulu."

Rafdi kembali menghela napas. Kerjaan gadis itu di bironya pun sudah selesai. Adis sudah mengirimkan enam artikel untuk satu bulan ke depan. Gadis itu seolah pergi setelah semua tanggung jawabnya selesai. Belum lagi, kuliahnya yang sedang libur semester, membuat keberadaan Adis seolah menghilang ditelan bumi.

"Kamu bisa hubungi dia?" Tanya Rafdi lagi. Ia sudah mencoba beberapa kali mengirim pesan dan menelpon Adis, tapi tak ada satu pun yang dijawab. Kontaknya pun ceklis satu. Sayangnya lagi, Adisa bukan tipe orang yang aktif di media sosial, sehingga Rafdi tak bisa menghubunginya lewat media sosial ataupun mencari keberadaan gadis itu.

Irma menggeleng. "Banyak tuh temen sekelas yang coba hubungi dia. Tapi nggak ada yang jawab. Aneh sih, nggak biasanya Adisa kayak gini."

"Dia nggak ada cerita-cerita apa gitu?" Tanya Rafdi penasaran. Sungguh, segala hal tentang Adisa jadi hal yang ia ingin ketahui.

Irma kembali menggeleng. "Adisa anak yang nggak pernah nyerita apa-apa, Kak."

"Temen deketnya?" Tanya Rafdi lagi.

Gelengan kembali Rafdi dapatkan. "Adis nggak deket sama siapa-siapa."

Rafdi mengernyit. Selama ini ia memang tidak terlalu memperhatikan Adis bergaul dengan siapa saja. Sepengamatnya, Adis bukan tipe orang yang sulit bergaul dan bisa menyesuaikan diri dengan siapa pun. Tapi ia baru tahu, bahwa ternyata Adis tak punya teman dekat.

"Dia mah memang begitu, Kak." Ujar Irma sambil cemberut. "Dari awal jaman maba sampai sekarang tahun terakhir kuliah, Adis keliatannya aja deket sama siapa pun, tapi sampai sekarang nggak ada tuh yang pernah deket banget sama dia. Bahkan saya aja nggak tahu Adis tinggal dimana dan punya saudara berapa."

Kening Rafdi semakin mengernyit. Sebegitu tertutup kah Adis? Ia baru mengetahui hal itu, karena jika dilihat dari luar Adis seperti gadis yang ceria, menyenangkan dan punya banyak teman. Seketika, perasaan Rafdi tak tenang. Menyadari bahwa Adis selalu tak baik-baik saja dan tidak memiliki teman untuk bercerita membuat perasaan khawatirnya semakin meningkat.

"Dia kemana, ya?" Rafdi bertanya setelah menghela napas berat.

"Emang kenapa, Kak? Adis punya hutang kerjaan, ya?" Tanya Irma.

Rafdi menggeleng, "Nggak." Ia hanya khawatir.

Dan sampai berhari-hari kemudian, kekhawatiran Rafdi tak berhenti, karena Adis sama sekali tak ada kabar. Bahkan sedikit pun.

Flawsome | Seri Self Healing✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang