Adis ingin menganggap perkataan Rafdi malam itu hanya candaan semata. Namun, raut wajah serius lelaki itu dan juga tatapan dalamnya membuat Adis tak tahu harus merespon apa. Maka, pada malam itu, secara mendadak ia langsung mengalihkan topik dan mengajak Rafdi pulang. Sepanjang perjalanan, tak banyak yang mereka bicarakan. Adis pun mendadak menutup mulutnya dan hanya terbuka saat Rafdi bertanya.Sampai keesokan harinya dan bahkan beberapa hari kemudian, tanpa sadar Adis berusaha menghindar dari Rafdi. Sayangnya, kuliahnya yang sudah mulai masuk dan juga pekerjaannya di biro Rafdi membuat Adis tak bisa berlama-lama menghindar dari lelaki itu. Karena nyatanya sekarang ia malah terjebak dengan Rafdi dan beberapa orang asisten lab untuk rapat mengenai praktikum di semester ini.
Dan Adis tahu, bahwa sejak tadi, Rafdi kerap kali meliriknya yang duduk bersebrangan dengan lelaki itu. Tanpa sadar, Adis menghembuskan napasnya pelan. Ia harus siap jika beres rapat ini Rafdi mengajaknya berbicara.
"Adisa." Panggil Rafdi saat rapat baru saja ditutup.
Adis memejamkan mata sejenak sebelum membalikkan tubuhnya dan tersenyum kikuk pada Rafdi. "Iya, Kak?" Tanyanya.
"Bisa bantu untuk cek alat tes yang baru dikirim?" Tanya lelaki itu.
Adis menatap sejenak ke kanan dan ke kirim. Di Lab sekarang masih banyak orang, lantas mengapa Rafdi harus meminta tolong padanya? Sayangnya, Adis tak berani protes dan ia pun mengikuti Rafdi berjalan ke arah gudang Lab, tempat beberapa alat tes yang baru saja dikirim kemarin.
"Hp kamu mati?" Tanyanya sambil berjalan.
"Eh.. nggak, Kak." Adis memperlihatkan ponselnya yang sedang ada di genggamannya.
"Terus kenapa chat dariku nggak kamu balas?"
Refleks, Adis pun langsung meringis pelan. Ia hampir melupakan bahwa beberapa hari ini ia cukup konsisten untuk tidak menanggapi Rafdi lewat pesan.
"Maaf, Kak, chatnya ketumpuk kayaknya." Bohongnya.
"Oh.." Rafdi meliriknya dengan tatapan tak percaya. "Oke." Tapi hanya kata itu yang keluar dari mulutnya.
"Aku kira kamu menghindar."
"Eh nggak kok, Kak, aku nggak menghindar." Seruan panik dari Adis pun membuat Rafdi terkekeh pelan.
Bodoh, seru Adis dalam hati. Saat ini pasti tingkahnya saat konyol.
Mereka pun kembali lanjut berjalan tanpa bersuara. Adis terus melirik Rafdi yang tampak tenang, berbeda dengannya yang terus merasa gelisah. Dan itu ia rasakan hampir setengah jam selama mereka mengecek alat tes. Untungnya Rafdi sama sekali tak mengungkit percakapan mereka pada malam itu.
"Beres ini langsung pulang?" Tanya Rafdi ketika mereka baru saja kembali ke Lab. Ruangan sudah kosong karena asisten lab yang lain pasti sudah pulang.
"Iya, Kak." Balas Adis sambil membereskan barang-barangnya.
"Aku antar, ya?" Pinta Rafdi.
"Nggak usah, Kak, nggak apa-apa."
"Kenapa?" Tanya Rafdi dengan nada menuntut.
"Nggak apa-apa. Aku bisa pulang sendiri, kok."
"Tapi aku pingin antar kamu pulang." Keukeuh Rafdi.
"Nggak usah." Tolak Adis lagi. Ia lalu menunduk, tak ingin bertatapan dengan lelaki di depannya.
"Kamu ngehindarin aku, kan?" Tembak Rafdi.
"Nggak, Kak." Balas Adis langsung.
"Karena ucapan aku waktu itu?" Tembak Rafdi lagi. Lelaki itu menatap Adis lekat, seolah tak membiarkan Adis lari dari pandangannya.
Adis diam sejenak, sebelum akhirnya menghela napas panjang dan mengangguk. "Iya." Jawabnya. Adis lalu menyimpan ranselnya di meja dan duduk di kursi. Ia tahu, Rafdi pasti akan mengajaknya berbicara.
Rafdi pun menarik kursi dan ikut duduk di hadapan Adis. "Kamu merasa nggak nyaman dengan ucapan aku?" Tanyanya lembut.
Adis menggeleng lalu mengangguk. "Aku nggak tahu. Aku cuman.. merasa terbebani."
"Maaf kalau ucapanku jadi buat kamu merasa terbebani, tapi perasaan ini sepenuhnya tanggung jawab aku, jadi kamu nggak usah merasa terbebani."
"Tapi.." Adis menghembuskan napasnya lagi. Ini pertama kalinya ada orang yang terang-terangan berkata tertarik padanya. Selama ini Adis selalu menganggap dirinya tak menarik dan tak pernah berharap akan ada orang lain yang tertarik padanya. Sekali pun ia punya perasaan lebih pada Rafdi, tapi ia selalu berusaha menahan dirinya agar tidak berharap apapun pada lelaki itu. Dan sejujurnya, perkataan dan perbuatan Rafdi saat ini cukup membuatnya kebingungan. Ia tak menyangka akan ada di posisi seperti ini.
"Kakak yakin?" Tanya Adis akhirnya. Adis merasa ia butuh mengkonfirmasi kembali perasaan Rafdi. Barangkali lelaki itu salah menafsirkan perasaannya.
"Yakin mengenai apa?"
"Perasaan Kakak."
Tanpa ragu, Rafdi langsung mengangguk, "Yakin."
"Bukan karena empati?" Tanya Adis ragu. "Maksudku.. mungkin Kakak cuman merasa empati karena masalah-masalah yang aku punya."
"Kamu meragukan perasaan aku?" Balas Rafdi. Raut lelaki itu tampak mengernyit, tampak tak setuju dengan pertanyaan Adis.
"Bisa aja, kan?" Balas Adis. "Mungkin Kakak merasa kasihan aja dan salah menafsirkan perasaan."
"Jadi, maksud kamu apa?"
"Aku ingin Kakak coba telaah lagi perasaan Kakak, karena bisa jadi itu nggak seperti yang Kakak pikirkan." Jelas Adis. Ia hanya tak ingin Rafdi terjebak dengan perasaan yang keliru. Sudut hatinya yang terdalam pun sangat meragukan perasaan lelaki itu. Karena ia benar-benar tak tahu hal apa darinya yang membuat lelaki itu punya perasaan lebih padanya? Adis tak ingin mengakuinya, namun ia memang benar setidak percaya diri itu.
"Aku udah mikirin semua secara matang-matang. Aku juga bukan anak labil yang nggak kenal perasaannya sendiri, Adisa. Aku menyadari dan mengakui perasaanku sendiri." Balas Rafdi dengan raut serius. "Kamu masih nggak percaya dengan perasaan aku?"
Adis terdiam. Ia tak tahu harus menjawab apa. Beberapa detik terdiam, akhirnya ia pun berkata, "Aku bukannya nggak percaya ke Kakak. Aku cuman merasa nggak percaya diri. Aku merasa aku nggak cukup layak untuk dapat perasaan itu dari Kakak. Makanya aku minta untuk Kakak telaah lagi perasaan Kakak."
Mendengar penjelasan Adis, Rafdi pun terdiam. Sedikit tak menyangka bahwa Adis memandang dirinya sendiri dengan seperti itu.
"Memangnya kamu nggak cukup layak? Kamu pun layak, Adisa."
Perkataan Rafdi terdengar mudah. Jika bisa, Adis pun ingin menganggap dirinya layak untuk dicintai dan diinginkan. Ia pun ingin menghilangkan semua perasaan keberhargaan dirinya yang sangat rendah. Namun, itu terasa sulit baginya. Kenyataan bahwa keluarganya pun tak menginginkannya membuat Adis merasa benar-benar tak cukup layak untuk siapapun. Bahkan untuk dirinya sendiri.
Adis diam. Ia menatap Rafdi yang masih setia menatapnya dengan lekat. Tatapan lelaki itu tak menuntutnya, namun membuat Adis merasa jauh lebih tenang. Tanpa diduga, matanya mendadak berkaca-kaca. Ia pun langsung mengusap pipinya saat air mata tiba-tiba jatuh. Adis lalu menunduk, merasa malu dengan lelaki di depannya itu.
Melihat Adis yang berkonflik dengan perasaannya sendiri, tanpa berpikir panjang, Rafdi langsung berdiri dari duduknya dan memeluknya. Harapannya hanya satu; ia ingin Adisa merasa lebih baik akan dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Flawsome | Seri Self Healing✅️
Fiction généraleHidup Adisa selalu rumit. Semesta pun kadang melupakannya. Maka yang selama ini Adisa pikirkan hanyalah bagaimana caranya ia melindungi dirinya sendiri. Dan kehadian Rafdi di hidupnya mengajarkan Adis bagaimana rasanya dilindungi dan dihargai. Denga...