[15]

505 89 0
                                    

Adis tahu mau seberapa besar usahanya untuk menghindari Ibunya, pada akhirnya ia akan kalah. Karena sekarang, saat Adis baru saja selesai kelas, di depan fakultasnya ia mendapati Ibunya yang sedang berdiri dekat parkiran. Tadi ia memang sempat melihat pesan dari Ibunya yang mengatakan bahwa ia datang ke kampus Adis. Ia ingin menghindar, tapi rasanya sangat keterlaluan jika ia menghindar. Terlebih Rike, Ibunya itu sengaja datang dari Garut.

"Maaf lama, Bu, tadi kelasnya selesai terlambat." Sapa Adis sambil menyalami Rike. Namun, matanya tak berani menatap ibunya. Ia masih punya perasaan yang menggunduk di hatinya.

"Coba kamu cari tempat enak buat ngobrol." Titah Rike.

"Di taman fakultas mau?" Tawarnya yang langsung diangguki Rike.

Adis pun mengajak Rike ke taman fakultas setelah sebelumnya membeli dua botol minuman dingin.

"Kamu tinggal dimana sekarang?" Tanya Rike ketika mereka baru saja duduk.

"Ngekos." Jawab Adis singkat. Ia menunduk dan meremas kedua tangannya. Kenyataan bahwa ia bukan anak kandung dari Rike selalu membuat dadanya sesak.

"Ada uangnya?"

"Ada." Ujar Adis bohong. Nyatanya, tabungannya memang hanya cukup membayar setengah biaya sewa satu bulan. Sisanya ia meminjam uang pada ibu kantin. Ia memang tak berani meminjam uang pada teman-temannya, untungnya ia cukup dekat dengan ibu kantin fakultasnya. Wanita paruh baya itu pun tak segan untuk membantunya.

"Kuliah kamu?"

"Masih dibantu beasiswa."

"Untuk sehari-hari?"

"Adis kerja part time dibeberapa tempat kok, Bu, Alhamdulilah." Ia masih bisa makan untuk sehari-hari, meskipun tak jarang ia harus puasa dadakan. Namun, selama hampir satu bulan ini Adis hidup luntang lantung, ia masih bisa menghidupi dirinya sendiri.

"Berarti Ibu nggak menelantarkan kamu, kan? Setidaknya kamu udah bisa menghidupi diri kamu sendiri. Kamu udah bisa lepas dari Ibu."

Adis menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan tangisnya. Ia tak mengerti maksud Ibunya, tapi apakah Rike akan melepaskannya? Selama hidup dengan Rike, Adis memang jarang bahagia. Banyak tekanan yang Rike berikan untuknya. Bahkan tak jarang Rike melakukan tindak kekerasan padanya. Tapi, selama ini Adis selalu menganggap Rike sebagai ibunya. Seburuk-buruknya perilaku Rike padanya, ia tetap sayang.

"Ibu mau buang aku?" Tanya Adis pelan.

"Dulu Bapak pernah bilang, Ibu boleh ngelepas kamu kalau kamu udah bisa hidup sendiri. Sekarang kamu udah besar, udah bisa cari uang sendiri, udah bisa menghidupi diri sendiri."

"Tapi Adis boleh nengok Ibu sama Lala ke Garut, kan?"

Rike mengangguk, "Silahkan."

Adis pun menatap Rike dari samping. Kini akhirnya ia tahu kenapa ia selalu merasa tak pernah disayang oleh Rike. Dan kenapa selama ini Rike selalu menahan keinginannya. Karena ia bukan keluarga perempuan itu. Ia bukan siapa-siapa. Hanya anak yatim piatu yang terpaksa harus Rike hidupi.

"Selama ini Ibu keberatan ngurus aku?" Tanya Adis pelan dan ia berusaha mati-matian untuk tak menangis saat melihat Rike mengangguk pelan.

"Dulu keuangan ekonomi Ibu sama Bapak udah sulit. Hidupin dua anak aja udah susah, apalagi tiga. Ibu udah minta Bapak untuk masukin kamu ke panti, tapi katanya Bapak udah janji sama adiknya buat ngurus kamu."

Adis mengangguk mengerti. Rupanya ia sudah ditolak sejak dulu. Harusnya Adis peka.

"Apalagi sejak Bapak meninggal sepuluh tahun yang lalu. Hidup Ibu makin sulit. Jujur, Ibu pingin kamu diurus sama yang lain, yang lebih mampu. Tapi Bapak sama sekali nggak punya keluarga selain adiknya dan orang tuanya yang udah meninggal. Kamu juga udah terlalu besar untuk masuk panti asuhan. Tapi, Ibu berharap, mungkin kalau kamu udah dewasa kamu bisa bantu Ibu."

Flawsome | Seri Self Healing✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang