"Halo semua." Sapa Rafdi yang baru saja masuk ke Lab Psikologi.
Adis yang hari ini mendapat jadwal untuk piket di Lab pun tersenyum menyapa Rafdi. Sejak beberapa hari yang lalu lelaki itu bersedia menemaninya selama satu malam membuat hubungan Adis dengan Rafdi menjadi lebih akrab. Mungkin karena pribadi Rafdi yang baik dan gampang didekati membuat Adis merasa nyaman dengan lelaki itu meskipun ia masih sedikit sungkan.
"Hari ini piket, Dis?" Tanya Rafdi sambil duduk di depannya. Lelaki itu menyimpan tas, mengeluarkan laptop dan menyalakannya.
"Iya, Kak. Kakak ada jadwal ngaslab, ya?"
"Iya. Ohya, kelas yang saya megang hari ini mau evaluasi tes WBIS. Nanti minta tolong untuk bantu observasi anak-anak, ya?"
Tanpa ragu, Adis mengangguk, menyanggupi permintaan Rafdi.
"Kamu nggak ada kelas, kan?"
"Nggak ada, Kak. Hari ini saya cuman piket di Lab aja."
"Oke deh, makasih, ya."
Masih dengan senyum, Adis mengangguk.
Setelah itu, beberapa orang di Lab pun sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Adis yang tak ada kegiatan pun memilih mengerjakan tugasnya sendiri. Sejenak ia melirik ke depannya dimana Rafdi sedang sibuk menatap layar laptop dan sesekali tangannya mengambil gelas berisi kopi yang lelaki itu beli tadi.
"Kenapa, Adisa?" Tanya Rafdi membuat Adis yang sedang menatapnya langsung terkejut.
"Oh, nggak, Kak. Cuman mau nanya, Kakak ngajar jam berapa?"
"Satu jam lagi."
"Oh, oke, Kak." Adis mengangguk, berarti ia punya waktu satu jam untuk mengerjakan tugasnya.
"Oh ya, Adisa, kapan kamu ngirim CV dan portofolio kamu?"
Adis mengernyit. "CV?"
Irma, teman seangkatannya yang juga bertugas sebagai asisten lab ikut bertanya, "Adis ngelamar di biro Kak Rafdi?"
Pertanyaan Irma pun mengingatkannya pada percakapan dengan Rafdi pada malam itu. Rafdi bercerita banyak mengenai biro yang sedang dirintisnya, lalu saat tahu jika Adis pernah beberapa kali memenangkan lomba artikel di kampusnya membuat Rafdi tanpa ragu mengajaknya untuk menjadi content writer di website dan media sosial bironya. Saat itu, Adis kira Rafdi hanya basa-basi mengajaknya karena ia sempat menyinggung mengenai pekerjaan. Ia memang sangat tertarik, namun ia sungkan untuk menanyakannya lebih lanjut pada lelaki itu.
"Beneran, Kak? Nanti aku diinterview dulu?"
"Kayaknya nggak akan. Kamu pasti bakal langsung diterima, kok. Saya cuman butuh CV dan portofolio kamu untuk saya kasih liat ke temen-temen yang lain."
Mendengar jawaban ringan dari Rafdi membuat senyum Adis langsung merekah. "Hari ini saya kirim CV dan portofolionya ya, Kak. Saya kirim ke email Kakak aja?"
"Iya."
Masih dengan senyum, Adis menjawab, "Makasih banyak, Kak."
"Saya loh yang makasih karena kamu mau join sama saya. Soalnya saya dan temen-temen nggak ada waktu buat rekrutment. Yang kami mau pun kami ngerekrut orang yang memang udah kita kenal. Karena semua pada malas nyari orang, makannya selama ini tulisan-tulisan yang diposting itu kami yang buat."
Mendengar itu, Adis mendadak tak percaya diri. "Tapi Kak, kayaknya nanti kerjaanku nggak akan sebagus Kakak dan teman-teman."
"Belum apa-apa kok udah nggak percaya diri, sih?" Rafdi tersenyum kecil. Adis pun meringis pelan.
"Saya juga mau join dong, Kak." Ujar Irma menimpali.
"Silahkan. Tapi untuk saat ini kami baru butuh content writer aja."
"Oh begitu ya, Kak." Jawab Irma dengan nada kecewa. Apalagi saat Rafdi tidak terlalu menanggapi kekecewaannya.
"Ya udah, saya ke kantin dulu ya mau sarapan. Nanti kamu langsung ke kelas 2C aja, sekalian bantu mahasiswa buat ambil alat tesnya, ya." Rafdi pun berdiri lalu keluar dari Lab.
"Kak Rafdi kayaknya baik banget sama kamu, Dis." Ujar Irma ketika Rafdi sudah keluar Lab.
"Ke semua orang pun Kak Rafdi baik, kan?"
"Tapi ke kamu baiknya beda."
Adis mengernyit. "Ngaco deh, Ma."
"Nggak tahu juga sih, tapi sebetulnya aku pernah nguping obrolan Kak Selly sama Kak Ikram tentang kamu."
"Obrolan apa?" Tanya Adis was-was.
"Kamu join ke Lab karena diajak Kak Rafdi, kan?"
"Iya."
"Kamu tahu kan join ke Lab itu harus nunggu rekrutmen dulu? Tapi kamu bisa join karena Kak Rafdi yang narik."
Adis terdiam. Tak tahu harus menjawab apa karena jika boleh jujur ia akan mengatakan pada Irma bahwa alasan ia masuk Lab karena ia sedang melaksanaan hukum yang Rafdi berikan padanya.
"Tapi bukannya ada beberapa mahasiswa yang join Lab karena memang diajak, ya?"
"Iya memang, tapi ini pertama kalinya loh Kak Rafdi narik orang buat join di Lab. Berarti kamu cukup menarik perhatian beliau, kan?"
Adis mendengus. Jelaslah ia menarik perhatian Rafdi. Jika ia tidak ketahuan berlaku curang mungkin sampai saat ini lelaki itu tidak akan menoticenya.
"Terus kamu diajak join bironya lagi." Seru Irma kembali memperpanjang obrolan.
"Kak Rafdi cuman mau bantu aja, Ma. Waktu itu aku sempet bilang lagi nyari part time, terus beliau nawarin. Ya udah. Lagian Kak Rafdi memang baik ke semua orang kali. Udah deh, jangan ngada-ngada gitu." Jelas Adis mencoba menutup topik obrolan mengenai dirinya. Perkataan random Irma tak lantas membuatnya berpikir lebih, karena yang ia yakini sampai sekarang Rafdi memang orang yang baik. Dan ia bersyukur bisa bertemu dengan lelaki itu.
***
Pukul empat sore saat kerjaannya sudah selesai di kampus, Adis memutuskan untuk pulang. Sudah dua hari ini ia menginap di kosan Neila, salah satu teman dekatnya di kampus. Dan Adis beruntung karena Neila bersedia menampungnya untuk tinggal sementara di kosannya. Meski mereka dekat, Adis sama sekali tak bercerita mengenai kondisi keluarganya, ia hanya bilang sedang kesal dengan kakaknya sehingga ia memilih tidak tinggal dulu di rumah. Ibu dan Kakaknya sama sekali tak menghubunginya. Ia menelpon beberapa kali pun tak pernah dijawab. Hal itu membuatnya cukup frustasi. Apalagi mengingat jika mereka sedang diincar oleh penagih hutang. Adis bisa memastikan bahwa yang menjadi sasaran empuknya adalah dirinya. Namun rasanya, seberapa besar ia mengeluh pun tidak akan mengubah keadaan.
Sore ini ia pulang bersama Irma. Meskipun kosan Neila berada di daerah sekitar kampus, tapi jika ditempuh dengan jalan kaki cukup membuatnya ngos-ngosan. Apalagi jarak fakultas dan gerbang depan kampusnya sudah cukup jauh. Jadi tawaran Irma cukup menggiurkan. Ia juga tak masalah meskipun sebelum Irma mengantarkannya ke kosan Neila, ia harus mengantar gadis itu ke daerah belakang kampus. katanya ia akan bertemu dengan adiknya untuk mengambil barang.
Namun, entah harus bersyukur atau tidak karena mendapat tumpangan untuk pulang. Motor yang dikendarai Irma diserempet oleh remaja yang membawa motor dengan mengebut dari arah depan. Irma yang lebih tahu situasi bisa lebih sigap menyelamatkan diri, sedangkan Adis yang tak siap apa-apa langsung terjatuh. Kaki kanannya tertimpa motor, lengannya lecet, juga kepalanya yang terbentur. Apalagi ia tak menggunakan helm. Adis tak tahu selanjutnya yang terjadi apa, karena semua menjadi gelap. Ia pingsan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Flawsome | Seri Self Healing✅️
General FictionHidup Adisa selalu rumit. Semesta pun kadang melupakannya. Maka yang selama ini Adisa pikirkan hanyalah bagaimana caranya ia melindungi dirinya sendiri. Dan kehadian Rafdi di hidupnya mengajarkan Adis bagaimana rasanya dilindungi dan dihargai. Denga...