"Makan yang banyak." Seru Rafdi dengan santai. Lelaki itu menyimpan satu potong ayam goreng beserta tempe tahu dan sambalnya pada piring Adis sehingga piringnya tampak penuh.Melihat itu pun Adis langsung menahan tangan Rafdi yang akan mengambilkan kangkung, "Ini udah cukup, Kak." Serunya gemas. Ia memang mengakui bahwa makannya sedikit, tapi ia bisa kewalahan juga jika Rafdi memberinya banyak makanan. Apalagi nasi yang Rafdi ambilkan tadi dua kali lipat dari porsinya.
"Biar sehat. Liat, tangan sama pipi kamu aja tirus gitu sejak pulang dari NTT." Dengan santainya Rafdi memegang pergelangan tangannya yang kecil dan juga pipinya yang menirus.
"Di NTT makan kamu bener, kan?"
"Iya, kok. Tapi makanan di sana nggak cocok sama lidahku, jadi aku nggak begitu banyak makan." Jelas Adis sambil memulai makannya. Saat ini, ia dan Rafdi sedang ada di rumah makan sunda. Katanya, Rafdi sedang mengidam makan ayam goreng dengan sambal yang pedas, padahal lelaki itu tak begitu suka pedas.
"Ya udah, sekarang makan yang banyak, ya." Tanpa ragu, lelaki itu mengelus rambutnya pelan, membuat jantung Adis sedikit berdegup. Apalagi saat matanya menantap Rafdi yang duduk dekat di sebelahnya.
Tadi, setelah pembicaraan yang berat antara Adis dan Rafdi di Lab. Lelaki itu langsung mengajaknya untuk makan. Rafdi tak lagi menuntutnya dengan berbagai macam pertanyaan, ia hanya meminta Adis untuk tak usah merasa terbebani dengan perasaannya. Adis pun mencoba menyetujuinya dan mengikuti saat Rafdi mengajaknya untuk makan siang terlebih dahulu.
Untungnya, Rafdi bersikap biasa saja, seolah adegan lelaki itu memeluknya saat Adis sedang krisis kepercayaan diri tidak terjada. Rafdi benar-benar tahu cara membuatnya merasa lebih baik.
"Hari ini nggak ada kegiatan lagi, kan?" Tanya Rafdi disela makannya.
Adis menggeleng, "Jadwal kuliah hari ini cuman tadi pagi aja. Paling nanti mau ngerjain artikel-artikel aja."
"Bukannya udah selesai kemarin?"
"Bukan buat biro Kakak, aku freelancer di tempat lain juga."
Mendengar itu, Rafdi lalu tersenyum, merasa senang karena Adis bisa mengembangkan minat dan bakatnya dimana-mana.
"Kerjaan kamu selain nulis artikel apa lagi?"
"Ikut projek psikotes sama bantu jualan pas weekend."
"Jualannya Bu Ika itu? Yang pernah kamu ceritain?"
Adis mengangguk semangat, "Iya, Kak. Kerjaannya cuman Sabtu dan Minggu dari jam enam sampai jam sepuluh, tapi honornya lumayan, suka dapat bonus sisa makanannya lagi. Bu Ika juga baik."
"Makanan apa memang?"
"Masakan rumahan gitu, Kak. Buatan Bu Ika semua, enak banget lagi makanannya."
Rafdi terkekeh. Tadi Adis begitu sendu saat berbicara dengannya, tapi sekarang saat membahas mengenai makanan gadis itu bisa bersemangat lagi.
"Kamu bisa masak?" Tanya Rafdi membuka obrolan lain.
"Masakan ringan aja. Itu pun yang makan cuman aku, jadi nggak tahu enak atau nggak. Kalau Kakak?"
Dengan bangga, Rafdi mengangguk, "Sejak kecil aku udah jago masak, malah dulu sempat ikut lomba koki cilik antar kecamatan."
"Serius, Kak?" Tanya Adis semangat. Dan Rafdi semakin terkekeh, tak menyangka akan mendapat respon seperti itu dari Adis.
"Seriuslah."
"Kakak bisa masak apa aja?"
"Banyak. Tapi lebih ke makanan Indonesia aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Flawsome | Seri Self Healing✅️
General FictionHidup Adisa selalu rumit. Semesta pun kadang melupakannya. Maka yang selama ini Adisa pikirkan hanyalah bagaimana caranya ia melindungi dirinya sendiri. Dan kehadian Rafdi di hidupnya mengajarkan Adis bagaimana rasanya dilindungi dan dihargai. Denga...