[12]

529 91 0
                                    


Setelah adegan Adis menangis selesai dan ia bisa lebih tenang, Rafdi pun mengajaknya memesan makan. Lalu, mereka pun makan di Lab sambil menonton film komedi dari laptop lelaki itu. Rafdi benar-benar mampu membuatnya tenang dan bisa melupakan masalahnya sejenak. Barulah jam setengah sembilan malam, Rafdi mengantarkan Adis ke kosan temannya.

"Makasih ya, Kak." Adis berkata sebelum turun dari mobil Rafdi. "Makasih buat traktiran makannya, filmnya, pokoknya makasih banyak."

Rafdi tersenyum, "Sama-sama."

Adis menghembuskan napasnya pelan, "Kayaknya aku banyak hutang budi ke Kakak."

"Kalau mau balas budi, belajar yang rajin aja." Balas Rafdi sambil terkekeh pelan.

Adis ikut terkekeh, "Kak Rafdi kayak udah tua banget, ya."

"Memang loh.. kamu nggak tahu usia saya, ya?"

"Dua tujuh, kan?" Tebak Adis yang langsung dibalas tawa oleh lelaki di sampingnya.

"Salah, Adisa. Tahun depan saya udah tiga puluh."

"Oh ya?" Sahut Adis. Ia kira Rafdi tak setua itu. "Berarti udah sering disuruh nikah, ya?" Tanyanya bercanda.

"Iya." Rafdi terkekeh. Ia lega karena bisa melihat Adis yang tersenyum. Setidaknya, Adis tak sesedih tadi.

"Jangan sedih lagi." Ujar Rafdi tiba-tiba. "Hari ini buruk, belum tentu besok buruk. Saya tahu, rasanya pasti berat ketika tahu suatu kenyataan yang nggak enak. Tapi saya yakin, kamu bakal berusaha untuk nerima itu. Mungkin hari ini kamu nggak punya solusi atas semua permasalahan kamu, tapi semuanya bakal selesai di waktu dan pengakhiran yang tepat."

Adis tersenyum kecil. Sejak Rafdi mendapatinya menangis, tak sedikit pun Rafdi memberikan nasihat atau pun saran. Lelaki itu hanya menemaninya dan menenangkannya. Baru sekarang Rafdi mengutarakan pendapatnya. Dan itu jauh bisa diterima Adis karena saat ini ia sudah lebih tenang. Selain itu, Adis jadi lebih percaya diri lagi dalam menghadapi masalahnya.

"Iya." Ujar Adis sambil tersenyum.

"Kalau ada apa-apa lagi, kamu boleh hubungi saya, kok." Tawar Rafdi.

Tawaran itu sangat menggiurkan, namun, Adis hanya menjawabnya dengan senyuman. Logikanya masih tetap berjalan. Jika pada akhirnya ia terus membutuhkan Rafdi saat sedang punya masalah, pada akhirnya ia akan bergantung pada lelaki itu. Dan semakin ia terbuka pada Rafdi, semakin besar ia menaruh perasaannya pada lelaki itu. Dan itu tak baik untuk dirinya. Cukup hari ini saja ia melemahkan diri di depan Rafdi. Untuk ke depannya, ia harus bisa sendiri.

"Makasih ya, Kak." Seru Adis lagi. "Saya pamit, ya, Kak."

"Eh, bentar." Tahan Rafdi sambil memegang lengan Adis.

"Kenapa, Kak?"

"Ini.." Rafdi mengambil paper bag kecil di kursi belakang dan menyerahkannya pada Adis.

"Apa nih?" Adis membuka paper bag itu dan mendapati banyak cookies dengan bentuk-bentuk yang berbeda yang menarik dan setiap cookiesnya dibungkus plastik kecil.

"Ini Kakak dikas-" belum sempat Adis menyelesaikan perkataannya, Rafdi langsung memotong.

"Saya nggak dikasih. Saya beli sendiri di toko kue dekat kontrakan saya. Katanya itu enak, banyak yang rekomendasiin. Bentuknya juga lucu-lucu. Kamu suka, kan? Pasti lebih enak dari cookies yang kemarin saya kasih."

Adis termenung sambil menatap cookies-cookies itu. Mendadak ia bingung, mengapa Rafdi memberikannya ini?

"Kemarin pas saat kasih cookies kamu kayak yang nggak senang pas tahu itu dari mahasiswa. Maaf ya, saya nggak ada maksud lain karena ngasih barang pemberian orang."

Flawsome | Seri Self Healing✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang