[18]

542 84 4
                                    


"Maaf." Ucap Adis setelah ia terdiam beberapa saat.

"Kamu nggak salah." Jawab Rafdi.

Adis menggeleng. "Aku salah karena nggak ngasih kabar. Aku salah karena tiba-tiba menghilang."

Mendengar perkataan itu, Rafdi pun menghembuskan napasnya panjang. Ia menutup laporan dan menyimpan pulpennya. Ia lalu merubah posisi duduknya untuk menghadap Adis.

"Adis, sebetulnya aku marah." Ucap Rafdi penuh penekanan. Wajahnya pun tampak serius. "Kamu memang berhak untuk melakukan apapun untuk diri kamu sendiri. Tapi, please, kamu pikir selama hampir sebulan ini aku bisa tenang tanpa tahu kabar kamu gimana? Aku tahu banyak hal yang membuat kamu kecewa, tapi di dunia ini masih banyak yang mengkhawatirkan kamu. Salah satunya aku. Aku terus kepikiran, kamu dimana? Lagi apa? Dan kenapa kamu tiba-tiba menghilang? Aku bahkan hampir mau menghubungi polisi, tapi Ibu kos kamu bilang kamu bakal pulang beberapa minggu lagi. Aku berusaha nahan diri dan nunggu kamu pulang."

Mendadak perasaan Adis terasa sesak. Rafdi betul. Ia memang berhak melakukan apapun, tapi tak seharusnya ia membiarkan dirinya menghilang tanpa jejak sedikit pun. Ia terlalu gegabah. Permasalahannya dengan Ibunya membuat Adis berpikir bahwa ia tak diinginkan oleh siapa pun.

"Maaf." Seru Adis pelan. Ia menunduk, merasa bersalah.

Melihat wajah sendu Adis, Rafdi pun tak bisa menahan diri untuk memeluk gadis itu. Ia mengelus kepala Adis lembut, berusaha merasakan kehadiran Adis di dekapannya.

"Maafin aku, Kak."

Rafdi melepaskan pelukannya dan mendapati wajah Adis yang masih muram.

"Jadi gimana NTT?" Tanya Rafdi mencoba mengalihkan pembicaraan. Ia tersenyum tipis. Ia memang sempat marah, namun melihat keadaan Adis sekarang sudah cukup membuatnya lebih tenang.

Adis mengangguk, "Aku seneng di sana."

"Syukur kalau begitu." Jawab Rafdi lega. "Mau ceritain kegiatan kamu di sana gimana?"

"Di sana aku sibuk ngajar anak-anak dan bantu Ibu-ibu di balai desa. Dari pagi sampai sore aku nggak berhenti kerja, malamnya aku suka keluar dari penginapan terus jalan-jalan dan banyak merenung. Rasanya aku capek, tapi anehnya aku merasa lagi istirahat." Cerita Adis. Ia tersenyum kecil. Sungguh, perjalanannya ke NTT memang sangat cukup untuk membuatnya bisa lebih berdamai lagi dengan keadaan. Karena banyaknya pekerjaan membuatnya melupakan sejenak kekecewaan yang rasakan. Lalu malamnya ia mulai mengingat kembali permasalahan-permasalahan hidupnya, namun, ia bisa lebih memprosesnya. Melamun dengan angin malam di lingkungan yang tak ia kenali cukup membuatnya merasa lebih baik. Secara perlahan ia mulai bisa memahami dan menerima semua kekecewaan yang ia rasakan.

"Kamu udah merasa lebih baik?" Tanya Rafdi yang langsung diangguki oleh Adis.

"Syukur kalau begitu." Rafdi tersenyum.

"Kakak udah nggak marah lagi?"

"Nggak, ngeliat keadaan kamu sekarang udah cukup ngehilangin perasaan marah aku."

"Makasih, Kak. Aku belum bilang makasih karena waktu itu Kakak udah bantu aku."

"Sama-sama."

"Maaf karena aku banyak merepotkan Kakak."

Rafdi menggeleng, "Nggak ada yang buat aku merasa kerepotan."

"Tapi aku ingin balas kebaikan Kakak lagi.. Jadi, ada yang lagi Kakak ingin?"

Pertanyaan itu pun lantas membuat senyum Rafdi mengembang. Tanpa ragu, ia mengangguk. "Weekend nanti kita ketemu, ya?"

Adisa ingin menolak, tapi ia tahu, tak ada alasan untuk ia menolak. Kata hatinya pun mengatakan untuk ia menerima ajakan tersebut.

Flawsome | Seri Self Healing✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang