Pukul setengah sembilan malam Adis baru saja sampai rumah. Sebelum masuk ke dalam rumah, ia mengeringkan tubuhnya yang tadi terkena hujan karena ia harus jalan dari depan gang sampai rumahnya. Ia harus masuk dalam keadaan kering jika tak ingin ibunya marah. Belum selesai Adis mengeringkan bajunya, Ibunya keluar dan menatapnya dengan pandangan kesal.
"Tadi pagi bilang mau pulang sebelum magrib."
"Iya, bu. Adis ada rapat himpunan dulu." Balas Adis sambil berjalan masuk ke dalam rumah. Ia kedinginan, perutnya lapar, ia juga sedikit pusing karena tadi harus memaksakan diri untuk ikut rapat di saat ia baru saja tersandung kasus. Dan sejujurnya, ia tak ingin jika ibunya menambah bebannya lagi hari ini.
"Ngapain sih, ikutan yang kayak begituan? Kamu fokus kuliah saja sudah sibuk begitu. Kamu bahkan banyak nggak bantu Ibu sejak kamu kuliah."
"Adis butuh ikut berorganisasi, Bu."
"Tapi kamu sudah mulai lupa sama tugas-tugas kamu di rumah."
"Adis nggak pernah lupa kok, Bu." Adis menjawab pelan dan kakinya langsung mengarah ke dapur. Bukan untuk makan, tapi untuk mencuci piring-piring yang tak sempat ia cuci tadi pagi.
"Adis janji nggak akan ninggalin tugas di rumah."
"Iya, tapi telat mulu ngerjainnya. Ibu sama Mbak kamu itu sibuk kerja loh, Dis. Jadi setidaknya kamu bantu-bantu di rumah ini dengan beresin rumah, meskipun kamu nggak bisa bantu keuangan di sini."
Adis memejamkan matanya sejenak, "Iya, Bu."
Hanya itu yang bisa Adis katakan di saat pikirannya penuh dengan perkataan-perkataan yang selalu ingin ia ucapkan. Tapi ia tak bisa. Tak akan pernah bisa.
"Jangan iya-iya aja tapi bener-bener dilakuin. Ibu itu capek loh harus kerja mulu. Mbak-mu nggak nikah-nikah juga karena sibuk kerja. Kamu itu harusnya ngerti keadaan keluarga. Jangan jadi beban terus."
Adis adalah beban untuk siapapun. Rasanya, Adis sudah bosan mendengar hal itu. Tiga tahun lalu saat ia memutuskan untuk kuliah, keputusan itu selalu ditentang oleh Ibu dan Kakaknya, bahkan sampai sekarang. Tak ada yang mendukungnya sama sekali. Katanya, pilihan untuk kuliah hanya buang-buang uang. Padahal selama ia kuliah, Adis sama sekali tak pernah meminta uang sepersen pun pada Ibu atau Kakaknya. Ia memperjuangkan pendidikannya sendirian sampai ia rela menunda kuliahnya selama dua tahun. Dan kenyataan bahwa Adis tak ikut berkontribusi untuk perekonomian keluarganya membuat ia selalu tertekan di rumah. Adis selalu dibuat sebagai tersangka yang bisanya hanya menumpang hidup dengan Ibu dan Kakaknya. Adis juga jadi tempat pelampiasan Ibu dan Kakaknya ketika mereka capek kerja dan butuh pelampiasan emosi. Dan kadang itu terlalu memuakkan untuk bisa Adis terima.
Tapi tak ada yang bisa ia lakukan. Karena sejak ia kecil, Ibunya selalu mengajarkan bahwa Adis tidak boleh menolak apapun itu yang datang padanya. Adis harus berkata "iya" sekalipun itu merugikan dirinya sendiri.
"Jangan dulu tidur. Mbak katanya mau pulang malam, kamu tunggu aja, Mbak nggak bawa kunci cadangan soalnya."
"Iya."
Sesudah beres mencuci piring dan membereskan dapur, Adis pergi ke ruang keluarga. Ia menyimpan ranselnya di ujung, membersihkan ruangan, dan menghamparkan kasur tipis yang selama ini menemaninya tidur. Di rumah ini hanya ada dua kamar. Ibu dan adik kecilnya, Lala tidur bersama dan kakaknya, Nasya tak ingin sekamar dengan Adis dengan berbagai alasan yang selama ini tak pernah bisa ia paham. Tapi, apa ada alasan untuknya menolak di saat Kakaknya berkontribusi dalam perekonomian keluarganya di bandingkan dia yang hanya menjadi beban di rumah? Tak ada.
Hidup selalu membuatnya tertekan. Bahkan untuk sekadar punya tempat untuk menyendiri pun Adis tidak punya.
***
"Hei, nunggu angkot?"
Sapa seseorang membuat Adis yang sedang mengecek tugasnya langsung menoleh dan mendapati, Radit, sahabatnya dari SMA sedang tersenyum konyol di atas motornya. Lelaki itu lalu mematikan motornya setelah memastikan ia berhenti di tempat yang aman.
"Hei, Dit." Sapa Adis tersenyum senang. Ia lalu berdiri, menghampiri Radit yang masih duduk di motor matic-nya.
"Kuliah pagi, Dis? Kok berangkatnya pagi banget." Radit melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul setengah tujuh pagi.
"Masuk nanti jam sembilan sih." Adis meringis. Ia lebih suka diam di kampus daripada di rumahnya.
"Dari jaman sekolah sampai sekarang masih rajin banget, sih." Radit tertawa yang hanya dibalas senyum tipis oleh Adis.
"Udah sarapan belum?"
Adis menggeleng.
"Ayo, naik, deh. Kita sarapan dulu." Radit menyerahkan helm cadangan yang selalu ia bawa. Adis pun menerimanya. "Emang kamu nggak kerja, Dit?"
"Kerjalah. Tapi nanti masuk jam sembilanan. Ayo."
Adis tersenyum senang lalu menuruti perkataan Radit untuk naik ke motor lelaki itu. Adis selalu senang jika ia punya kesempatan untuk menghabiskan waktu dengan Radit.
"Kuliah gimana, Dis? Aman?" Radit bertanya sambil menjalankan motornya pelan.
"Alhamdulillah aman. Kerjaan kamu gimana?"
"Yaa begitu-begitu aja, Dis. Lagian aku baru lima bulan di sini."
Adis tersenyum mendengarnya. Radit ini baru lulus sarjana satu tahun kemarin, setelah sebelumnya lelaki itu mengabdi di salah satu daerah pelosok di Indonesia, akhirnya Radit pulang ke Bandung dan mencari pekerjaan. Meskipun Radit sudah jarang bertemu dengannya dan sibuk dengan kesibukannya sendiri, tapi lelaki itu tak pernah absen untuk menanyakan kabarnya dan sesekali mengajak Adis untuk makan siang bersama.
Ada hal yang membuat Adis betah berteman dengan lelaki itu. Entah kenapa, sejak mereka masih sekolah, Radit selalu ada untuknya ketika ia mulai penat dengan kehidupannya sendiri. Lelaki itu tak pernah bertanya apa yang membuatnya sedih atau marah, tapi lelaki itu selalu ada jika ia membutuhkan tanpa menghakimi atau mengkritiknya. Bukankah Radit terlalu spesial untuknya? Rasanya Adis beruntung bisa mempunyai sahabat seperti Radit.
"Kuliah kamu kapan beres, Dis?"
"Satu tahun lagi. Itu pun kalau nggak ada halangan, sih."
"Ah, buat orang rajin kayak kamu mah bisalah, Dis." Radit terkekeh, Adis yang melihat senyum lelaki itu di spion pun ikut terkekeh, "Aamiin, Dit."
"Habis lulus mau langsung kerja?" Tanya Radit lagi.
"Ya iyalah." Balas Adis langsung, "Emang kamu yang maunya nganggur dan jalan-jalan terus."
"Bukan jalan-jalan, Dis. Aku itu mengabdi. Lagian ngehabisin waktu buat diem di kampung orang terus jadi orang yang diandalkan sama mereka itu healing banget loh, Dis. Bukannya dulu pas SMA pun kamu mau kayak gitu ya, Dis?"
Adis terdiam sejenak. Ia memang punya cita-cita untuk mengabdi di suatu daerah terpencil. Jiwa empatinya selalu bergejolak ketika melihat orang-orang bisa mengabdikan diri mereka. Tapi dengan kondisinya yang serba pas-passan memang ia bisa?
"Ya, mau banget sih, Dit. Tapi.. kalau gitu, aku bakal terus ngebebanin Ibu sama Mbak dong. Bukannya bantu mereka malah asik sendiri." Agar terlihat tidak begitu menyedihkan, Adis pun terkekeh. "Mending kerja dan dapat uang, kan?"
"Dari dulu nggak pernah berubah ya, Dis?" Radit melirik Adis lewat spion.
"Apanya?" Tanya Adis heran.
"Selalu aja menganggap diri sendiri beban. Kuliah pakai biaya sendiri, harus rela kerja sambil kuliah, rela gap year dua tahun demi ngumpulin biaya masuk kuliah. Itu yang namanya ngebebanin? Harusnya Ibu sama Mbak kamu bersyukur kan, kamu nggak ngerepotin mereka?"
Adis memilih tak menjawab, ia hanya terkekeh sambil menepuk punggung tegap Radit. Omongan Radit benar. Sayangnya, tidak semua orang punya kondisi yang sama. Mungkin Radit lupa, bahwa kehidupan Adis beda dengan kebanyakan orang-orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Flawsome | Seri Self Healing✅️
Ficción GeneralHidup Adisa selalu rumit. Semesta pun kadang melupakannya. Maka yang selama ini Adisa pikirkan hanyalah bagaimana caranya ia melindungi dirinya sendiri. Dan kehadian Rafdi di hidupnya mengajarkan Adis bagaimana rasanya dilindungi dan dihargai. Denga...