[10]

563 93 1
                                    


Sejak kelas pertamanya mulai sampai sekarang kelas ketiganya berlangsung, Adis sama sekali tak fokus. Tadi shubuh, Nasya, Kakaknya menelpon dan mengajak Adis untuk bertemu sore ini. Maka, saat kelasnya berakhir di jam setengah empat sore, Adis langsung beranjak ke masjid kampus untuk sholat lalu pergi ke cafe dekat kampusnya, tempat janjiannya dengan Nasya.

Setelah sampai, ia mendapati Nasya yang sedang terduduk sambil memainkan ponselnya.

"Mbak." Serunya semangat. Mereka hampir tak bertemu selama tiga minggu lebih. Meskipun hubungan mereka tak terlalu baik, namun Adis tetap rindu wanita itu. Lagipula, kadang Nasya juga suka memberinya uang atau pun sekadar membelikannya makanan. Nasya tetaplah kakak baginya.

"Udah lama, Mbak?" Tanya Adis sambil duduk di hadapan wanita itu. Wajah Nasya tampak muram dan ia mulai merasakan perasaan tak enak.

"Baru kok." Jawab Nasya. "Udah makan? Pesen makan dulu."

Adis menggeleng, "Jam dua tadi aku udah ngebakso sama temenku. Aku nggak terlalu lapar."

"Ya udah." Nasya menghembuskan napasnya berat.

"Mbak apa kabar? Ibu sama Lala gimana, Mbak?" Tanya Adis langsung. Sungguh, selama tiga minggu ini mereka benar-benar lost contact. Mendadak keluarganya sangat susah dihubungi.

"Kita nggak pernah baik-baik aja kan, Dis?" Jawab Nasya pelan.

"Rumah.. gimana? Hutangnya..?" Rasanya terlalu banyak yang Adis ingin tanyakan. Ia memang tak bisa membantu, namun ia ingin tahu keadaan yang sebenarnya.

"Hutang yang kemarin udah lunas." Jelas Nasya singkat.

"Uang darimana, Mbak?"

"Pacar Mbak bayarin setengah." Nasya menjawab dengan wajah muram. "Dan Mbak merasa berat karena Mas Adi bantu bayarin."

Adis terdiam. Ia paham perasaan yang dirasakan Nasya. Karena bagaimana pun juga Adi, kekasih Nasya tak memiliki kewajiban untuk bantu meringankan hutang mereka.

"Rumah udah Mbak jual untuk bayar sisa hutangnya."

"Dijual?" Pekik Adis. "Terus kita tinggal dimana, Mbak?"

"Ibu sama Lala bakal pindah ke Garut tinggal di rumah Wa Anik. Mbak lagi mau urus kepindahannya. Minggu depan Ibu sama Lala juga bakal ke Bandung untuk ambil barang-barang. Kalau Mbak tetap tinggal di Bandung, bakal ngekos."

Adis meremas kedua tangannya. Kenyataan ini mendadak membuat dirinya gusar. Jika seperti itu keputusannya, lalu Adis bagaimana? Bagaimana dengan hidupnya?

"Kamu bisa ikut ke Garut, Dis."

Adis menggeleng pelan, "Aku masih kuliah, Mbak." Cicitnya.

Nasya menghembuskan napasnya. Dan Adis menunduk. Nasya akan selalu kesal jika ia mengungkit kuliahnya, maka alasannya pun pasti membuat kakaknya tak suka.

"Aku boleh tinggal sama Mbak?" Pinta Adis

Nasya menggeleng pelan, "Maaf, Dis, Mbak sekarang ngekos berdua sama teman. Keuangan Mbak nggak terlalu bagus. Mbak harus rutin kirim uang ke Ibu karena Ibu belum dapat kerjaan di sana."

"Terus.. aku gimana?" Cicit Adis lagi.

"Mbak udah kasih kamu pilihan untuk ikut tinggal di Garut, Dis. Kalau pun kamu memang mau di Bandung silahkan, tapi Mbak dan Ibu nggak bisa bantu."

Adis memejamkan matanya sejenak. Bagaimana bisa ia membiayai hidupnya sendiri di saat sekarang ia tak memiliki pekerjaan pasti? Saat ini Adis hanya bekerja freelancer di beberapa tempat. Entah itu sebagai penulis lepas, content writer, tester psikologi, atau pun bantu projek dosen-dosennya. Jam kuliahnya yang padat membuatnya sulit untuk mencari pekerjaan dengan penghasilan yang lumayan. Saat ini penghasilannya hanya cukup untuk makan dan kebutuhan kuliah. Ia bersyukur karena kuliahnya masih ia pertahankan dengan bantuan beasiswa. Namun, untuk membayar tempat tinggal sepertinya ia belum mampu.

Flawsome | Seri Self Healing✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang