Andai ini Banyu, aku bisa dengan ketus bertanya. 'Ngapain ke sini lagi?' Sayangnya ini Tama yang sekali lihat langsung membuatku keder, karena mukanya memasang ekspresi kelam dan teramat terganggu ketika mendapati Banyu di dalam kamar rawatku.
"Presdir Gunadigital ada di sini?" Kekagetan terlihat jelas di mata Banyu ketika tanpa sungkan Tama memasuki ruangan ini seolah ini wilayahnya.
"Ini aku." Tatapan posesif Tama bagai sembilu. Arg, aku mengeluh. Kedepannya urusanku dengannya pasti tidak akan mudah.
"Kalian?"
"Hanya kenalan." Ku gigit bibirku saat Tama memincing tak suka pada jawabanku atas pertanyaan Banyu pada hubungan kami. Aku ingin menangis melihat aura dingin Tama yang menguar. Tatapan tidak percaya Banyu begitu terlihat, mungkin dia tidak menyangka aku bisa mengenal seorang Tamawijaya.
"Aku ingin mengunjungi tu ~"
"Tama... " Aku merasa sebentar lagi akan gila, untungnya apa yang akan keluar dari mulut Tama masih sempat ku cegah. Tama yang sangat tidak puas, menarik sebelah alisnya. Pria itu memandangku lurus dan posesif syaraf peringatan. Kemudian dia memilih duduk di sofa. Kakinya dia lipat anggun, seperti tak menganggap Banyu ada pria itu memainkan tablet dengan khusuk.
"Lakukan sesukamu, aku akan ada di sini."
Ku gigit bibirku kesal, aku ingin mengusir pria-pria ini. Banyu terlihat mempelajari interaksi kami. Tapi apa yang dia harapkan dari hubungan beberapa jam antara aku dan Tama?
"Sudah sejauh ini ya, Nin?"
Segera aku menjawab, "seharusnya bukan urusanmu. Terima kasih sudah berkunjung."
"Jelas aku mendengar, dia takut kamu berpaling padaku, kan? Ninda... apa aku sudah tidak ada di hatimu?" Banyu mengatakan lirih, seolah tak ingin Tana mendengar, nadanya bersikeras ingin tahu.
Aku menatap Tama yang juga tengah menatapku, kepalaku menggeleng kecil padanya berharap Tama paham untuk membiarkan aku menyelesaikan masalah ini sendiri. Di sisi lain aku juga tidak ingin klaim pertunangan antara aku dan dia tereskpos orang lain.
"Apapun hubungan kami, itu tidak ada hubungannya denganmu, Pak Banyu. Aku ingin istirahat, sekali lagi terima kasih."
Banyu tak juga beranjak, pria itu memandang lurus padaku seakan mencari sesuatu yang tak membuatnya puas, padahal jelas-jelas kalimatku bernada mengusir.
"Tuan berdua, bisakah sekarang aku istirahat?"
"Oh, tentu. Istirahat saja. Aku masih ada urusan dengan ayahmu yang sebentar lagi datang." Itu Tama, memandang pada Banyu dengan raut malas. Dengan tatapannya juga dia mengusir Banyu. Padahal pengusiran itu berlaku untuknya juga. Arg, belum apa-apa qku sudah lelah duluan menghadapi Tama.
"Baik, setidaknya kamu masih di bawah agensiku. Istirahatlah." Banyu berbalik untuk mengangguk singkat pada Tama, lalu melangkah keluar ruangan ini dengan langkah yang berat. Sebelum Banyu keluar dari pintu, matanya dia larikan padaku untuk menguncinya. Aku memilih berpaling, tak ingin lagi berurusan dengannya.
Kini tinggal kami berdua, Tama mengangkat sebelah alisnya. Dadaku terasa pengap, mengapa wajahnya jadi tidak puas lagi? Salahku di mana coba?
"Nda, gadis yang baik tidak mengusir calon suaminya."
Aku mencebik, 'Terserah dia saja'.
Pura-pura tidur adalah pilihan terbaik, toh aku tidak akan bisa membuat pria itu pergi. Nyatanya aku memang terlelap, walau rasa aneh menggeluti hati, bisa-bisanya aku tertidur di bawah penjagaan seorang Tamawijaya yang betah di ruanganku. Aku terbangun ketika sayup-sayup ku dengar dua pria yang tengah berbincang kaku. Penasaran, aku segera membuka mata.
Benar-benar ada ayah Ninda? Pria dengan rambut berwarna tembaga itu memiliki tanda lahir di telinga kanan, persis dengan milik Ninda. Tanpa sadar, aku membawa jemariku ke telingaku sendiri.
Dari posisiku dia terlihat masih bugar, kecuali area cekung di bawah matanya yang belo, bentuk mata yang juga diturunkan pada Ninda. Pria itu mirip sekali wajahku dalam versi pria, dagu lancip tubuh ini juga terlihat mirip sekali dengannya.
Aku dan Ninda memiliki banyak kesamaan wajah dan rupa. Hanya berbedaan masa otot, garis wajah, tatapan mata, warna kulit dan rambut. Jadi aku selalu menempati tubuh yang memiliki ciri fisik yang nyaris sama walau kadang aku jadi laki-laki atau banci sekalipun.
"Yah?"
Pria itu menoleh, lalu bangkit menghampiri ranjang rawat. Ada getaran samar dalam dadaku ketika tatapan khawatir pria paruh baya itu menabrak tubuhku.
"Kenapa, tidak mengabari keluargamu? Ibu dan adikmu bisa menemani di sini. Mengapa merepotkan Tamawijaya, dia pasti sangat sibuk sekali." Teguran ayah ingin ku tampik, memangnya aku suka ditunggui olehnya? Ayahnya Ninda yang kini jadi ayahku itu memeriksa perbanku sepanjang pergelangan tangan hingga bahu.
"Tamawijaya bilang, sendi di bahu dan pergelangan tanganmu geser, bagaimana rasanya?"
Aku juga tidak menjawab pertanyaan ayah. "Minum" pintaku, tenggorokanku kering, entah pukul berapa sekarang. Yang jelas rasa nyeri di lengan kembali menyengat.
"Sakit?" Tanya ayah, ketika aku mendesis lirih pada lengan ini, sebelum menerima gelas yang diangsurkan. Ku teguk air putih dengan rakus, aku makin haus saat tatapan Tama menelisik. Mengapa orang ganteng seperti dia harus punya wajah tegas tapi datar cenderung menakutkan sih? Sayang sekali.
"Kenapa ayah datang?"
Bukannya aku tidak suka ayah ada di sini. Ninda memang tidak pernah akrab dengan ayahnya, atau siapapun di keluarganya selain kakek. Apalagi ibu dan adik tiri Ninda. Aku bersungguh-sungguh saat bilang, perasaan Ninda menular padaku.
"Hey, Nak. Kau anggap apa ayahmu ini? Walau aku tak lagi sesukses dulu, aku tetap adalah ayahmu. Sudah seharusnya kamu tetap berbakti dan ayah menyayangi."
"Aku selalu berbakti seperti yang Mama Kumala inginkan." Dengan mengirimkan uang bulanan untuk keluarga mereka yang menderita kebangkrutan beberapa tahun belakangan ini.
"Ah, Ninda." Raut bersalah ayah tertangkap mataku.
"Jangan hiraukan mamamu. Istirahatlah lagi." Katanya, terciun bau alkohol dari mulutnya. Aku berdecak, pria tua ini apa tidak lelah keluar masuk klub hanya untuk mencari koneksi.
"Yah, mengapa tidak pernah membahas soal dia?" Aku berbisik ketika tatapanku jatuh pada Tama yang masih menatapku terang-terangan.
"Ayah tahu kamu tak akan suka diatur-atur urusan jodoh. Maka ayah membiarkan masalah ini. Dia bukan pria yang mudah, ayah pikir mengabaikan masalah ini adalah pilihan terbaik." Ayah balas berbisik.
Sedikit terharu dengan pemikiran ayah, kalau memang benar begitu. Berarti Malik Mawardi memang menyayangi Ninda, walau seringnya canggung.
"Sekarang bagaimana?"
"Kamu sudah dewasa, kalau kamu menyukainya ayah tidak masalah. Urusan hutang piutang, akan ayah tanggung sendiri." Kami masih saling berbisik.
Syukurlah, setidaknya pemilik tubuh asli tidak lahir dari seorang pecundang, yang sayangnya pemabuk sejak muda sampai berakhir memperkosa ibu Ninda tanpa tahu kalau Ninda ada.
Aku tersenyum penuh terima kasih, lebih baik aku ikut membantu membayar hutang kerugian yang diderita Tama karena ayah Ninda, dari pada harus menghabiskan seluruh hidupku dengannya atau pria lain. Melajang seumur hidup, adopsi dua atau tiga anak, dan aku akan bahagia tanpa ketakutan cinta akan membunuhku sekali lagi.
"Tuan muda Wiguna, aku akan menyerahkan keputusannya pada putriku. Walau aku berharap tawaranku yang pertama kau bertimbangkan." Ucap ayah yakin. Sementara Tama hanya bereaksi datar, tidak sekalipun pria itu terganggu dengan interaksi aku dan Malik Mawardi yang sangat jelas membicarakan dia di belakang dengan saling berbisik.
"Ku rasa aku masih dengan keputusanku. Kakekku menyukai dia." Jawabnya tegas. Suaranya yang dalam membuat orang lain tak berani menantang keputusannya.
"Jadi kakekmu masih hidup?" Itu reflek ku suarakan, ku pikir kalau akar perjodohan ini telah tiada, semuanya akan lebih mudah untukku.
"Apakah kamu mendo'akan kematian kakekku?" Aura Tama kembali suram dan penuh peringatan.
Ah, aku salah lagi ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Tunangan Misterius Presdir
ChickLitNinda Bestari melebarkan karier dari yang semula penyanyi baru keluaran ajang bakat, ke seni peran. Bertemu dengan salah satu aktor yang hampir melecehkan dia, Ninda berusaha menjaga diri hingga pingsan karena mengalami gegar otak. Baru saja Ninda...