16. Sakit Jantung

1.2K 221 46
                                    

Sampai di rumah, aku memilih merebahkan diri di ranjang.

"Aku tidak punya kamar kosong. Kamar satunya ku gunakan sebagai tempat menyimpan kostum."

"Saya bisa tidur di sofa." Alvia bersikap tak gentar.

"Aku menggajimu untuk menunjang pekerjaanku, tapi aku butuh privasi. Ambil kunci cadangan sebelum pulang. Supirku namanya Pak Agung, dia yang berjaga di depan tadi, kalau butuh kamu bisa minta bantuannya." Ku harap Alvia mengerti.

"Tapi, bapak..."

"Tama lagi, Tama lagi! Kamu suka sama dia ya, nyebut-nyebut namanya terus. Kenapa aku harus ketemu dia di kehidupan ini, ya ampun!!" Aku menutup kedua mata dengan lengan kanan. Kepalaku menyandar tak berdaya di kepala ranjang.

"Mbak Ninda, tolong jangan begini. Saya bisa dibunuh bapak, Mbak..." katanya memelas.

Aku bangun, mengaduk-aduk tempat sampah. Anehnya si gesit Alvia ikutan juga.

"Nyari apa sih, Mbak?" Katanya dengan raut ingin tahu.

"Kartu nama." Sahutku singkat.

"Kok di sini, Mbak? Ini?" Dia menunjukkan sebuah kartu warna putih.

"Bukan" sahutku cemberut.

"Warna apa ya mbak?" Tanyanya serius.

"Abu-abu."

"Oh, ini ya?" Alvia memegang kartu nama Tama yang sudah ku remas sampai membentuk buntalan kecil. Sebelum diserahkannya, dia berbaik hati membuka buntalan itu. Lalu segera matanya jadi membola kaget.

"Mbak, ini kartu namanya bapak, mbak...!" Teriaknya berlebihan.

"Kagak usah histeris, untung cuma kartu nama yang kuremas. Bukan muka datarnya itu." Aku mengambil benda tersebut dengan gemas. Memilih duduk di sofa bed ujung ranjang, aku mengambil ponsel.

"Emang Mbak Ninda berani?" Ejek Alvia, air mukanya berubah jenaka.

"Ya, enggak lah."

Alvia cekikikan, "ngapain sih mbak, nyari kartu namanya bapak segala?"

Aku diam, fokus memencet sejumlah angka yang ku beri nama 'Dia'.

"Ya, kalau kangen telpon aja Mbak. Bapak pasti seneng." Alvia merapikan tempat sampah.

"Ini mau aku simpen dulu nomornya."

"Ha?"

Ku lirik gadis yang lebih tua dari pemilik tubuh asli yang memekik itu.

"Jadi bener ya, gosipnya yang bapak terpisah dengan tunangannya itu?"

Dasar tukang ghibah, terpisah apanya. Si Tama saja yang mengada-ada. Hubungan yang seperti itu tidak bisa disebut perjodohan. Lagi pula, tidak ada kewajiban baginya untuk memenuhi keinginan sepihak orangtuanya.

"Mbak Ninda mirip bapak ya, ternyata ngomongnya irit." Alvia cengengesan.

Maaf, saja. Aku bukan Ninda yang dulu.

"Mbak bapak telpon."

Aku mendengus, tak peduli pada ekspresi Alvia yang tegang.

"Ya Pak, saya di rumah mungil Ibu."

Heh, kenapa dia manggil aku ibu lagi, apa perlu ku katakan aku ini sudah nenek-nenek.

Dia menyebut rumah ini mungil? Maksudnya rumahku kecil? Wah, menghina sekali.

"Ibu baik-baik saja" sari balik bulu matanya, Alvia meneliti keadaanku. Lebai.

"~ di depan Pak."

Tunangan Misterius PresdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang