Di basemen yang sepi, beberapa pekerja terlihat menurunkan barang. Bagian ini sepertinya memang hanya dilewati pekerja rumah sakit saja, pengunjung tidak melewati area ini. Kami terus berpacu dengan Mbak Dahlia menunjuk-nunjuk ambulan yang katanya akan membawa ku demi mengalihkan perhatian pencari berita.
Bukannya berhenti di depan ambulan, Alvia justru terus mendorong kursi roda dengan sedikit berlari.
"Alvia, gimana sih! Apa-apaan kamu!" Teriak Mbak Dahlia marah.
"Maaf Mbak Dahlia, ini perintah keluarga Mbak Ninda." Katanya tegas lalu beralih padaku.
"Ayo Mbak, bersiap turun, segera melompat ke Alpard hitam itu, paham?"
Otakku yang cerdas, jiwa tuaku yang tertempa pengalaman ratusan tahun segera memahami. Alvia Samsuri, bukan hanya asisten biasa. Gadis 26 tahun ini sudah terlatih dalam situasi genting. Terlihat dari rautnya yang tenang, matanya yang bersinar terang, dan gestur tubuhnya yang terlatih.
Pertayaanku, kapan dia menghubungi orang-orang berjas hitam ini? Aku sampai meneliti telinga gadis itu mungkin saja ada sesuatu seperti komunikator. Tapi tidak ada. Sudahlah, seseorang menarikku, ada yang mendorong tubuhku agar masuk ke dalam mobil dengan cepat. Bunyi pintu yang tertutup, bagai komando supir untuk melajukan kendaraan ini.
Aku menoleh dengan senyum meremehkan ke arah Mbak Dahlia yang melongo. Lalu di belakang kerumunan itu, awak media dengan mikropon dan kamera berlarian ke arah Mbak Dahlia yang akhirnya masuk ke dalam mobil berwarna putih, menyusulku.
"Jangan sekali-kali membawa ku ke tempat Tamawijaya." Aku memperingatkan. Dua orang di depan itu menoleh padaku sekilas lalu mengirim sinyal mata pada Alvia yang akhirnya mengangguk setuju.
Aku mendengus tak habis pikir. Orang seperti apa Tama dan Alvia ini. Beberapa menit lalu Alvia bertingkah sangat polos, tiba-tiba dua orang berbadan besar terlihat tunduk pada gadis yang rambutnya dicat pirang ini.
"Aku benci pengkhianat. Jangan bekerja denganku kalau kamu memang lebih tunduk pada Tama, ku pikir janjimu tadi pagi hanya janji palsu."
Mata gadis itu membola, "swear, Mbak. Aku dan mereka benar-benar sepaket. Ditugaskan untuk menjaga Mbak Ninda." Pungkasnya menggebu.
"Kalau begitu, aku yang akan menggaji kamu."
"Tapi Mbak, bapak bilang..."
"Berikan ponselku." Alvia patuh, dia berikan ponselku yang kurebut dengan kesal.
"Tama memang semaunya sendiri, dia pikir aku tidak bisa mengusir mereka. Kalau hanya seorang asisten dan jajaran pengawal, aku sangat bisa menendang kalian dan mencari ganti. Mana nomernya Tama sih!" Aku mengerutu. Dengan Tama aku bisa berlaku menyimpang biasanya diriku, seperti sekarang ini.
Eh! Mataku sontak terpejam, merasa bodoh. Aku tidak punya nomor Tama, aku ingat kartu namanya ku lempar ke tempat sampah.
Alvia menatapku tegang, supir dan seseorang yang duduk di depan sepertinya juga tengah menunggu aku membuka suara.
"Kalau kamu setuju dengan mauku, kamu boleh ikut aku. Kalau kamu masih dibayar Tama, maka sana ikut Tama kemana-mana."
"Baik." Jawab supir yang kemudian mendapat pelototan dari Alvia dan satu orang lainnya.
Aku berdecak, "Kalian berdua, aku tidak butuh pengawal, bodyguard, satpam, hansip, atau apalah...!"
Salah seorang menyela, "tapi Non, Pak Tam ~"
"Antar aku pulang! Ke rumahku, cepet balik arah." Tegas aku menginginkan mobil ini berbalik arah. Memangnya mereka mau membawa ku ke mana.
Ku sebutkan alamat ku, daerah perbatasan dengan provinsi sebelah. Lingkungan yang masih asri dan tenang membuat aku betah tinggal di sana. Pemilik tubuh asli membelinya dari sebuah iklan media sosial yang dipasang agen jual beli rumah. Keesokan harinya setelah cek kondisi rumah, Ninda bersedia mentranfer DP dan bulan berikutnya setelah mendapat sertifikat atas namanya, Ninda melunasinya dengan bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tunangan Misterius Presdir
ChickLitNinda Bestari melebarkan karier dari yang semula penyanyi baru keluaran ajang bakat, ke seni peran. Bertemu dengan salah satu aktor yang hampir melecehkan dia, Ninda berusaha menjaga diri hingga pingsan karena mengalami gegar otak. Baru saja Ninda...