manusia dengan tanda tanya-nya

359 64 36
                                    

Pukul 9 malam, Riki kembali ke rumah sakit untuk menemani Jean. Ia baru saja pulang dari rumah untuk mandi sekaligus bernegosiasi dengan sang ibu agar membiarkannya menginap di rumah sakit malam ini.


Awalnya, ibunya menolak keras. Namun, ketika Riki menceritakan musibah yang menimpa temannya, sang ibu pun mengizinkannya menginap. Ibunya bahkan menitipkan salam pada Jean yang bahkan masih tertidur damai. Dokter bilang, itu efek dari obat bius. Riki yang tidak mengerti cara kerja tim medis hanya bisa berharap yang terbaik untuk temannya itu. Dokter juga bilang, tidak ada luka serius pada tubuh Jean. Anak itu memang sempat kehilangan banyak darah, tapi untungnya pihak rumah sakit memiliki persediaan darah yang banyak sesuai dengan golongan darah Jean. Organ vitalnya juga baik-baik saja. Benturan di kepala belakang Jean hanya menimbulkan benjolan. Dahi temannya itu memang harus menerima 5 jahitan, tapi setidaknya Jean tidak koma. Itu yang Riki syukuri. Walaupun konsekuensi yang ditimbulkan dari kejadian ini adalah Jean yang akan rewel ketika bangun nanti. Jean memang tidak geger otak, tapi temannya itu akan sering mengalami pusing dibeberapa situasi. Tidak berbahaya, tapi akan sangat mengganggu aktifitas Jean.

Dokter juga bilang, lambung Jean terlalu kaget menerima minuman keras dengan jumlah yang banyak. Itu akan membuat Jean merasa nyeri pada bagian perutnya. Apalagi, luka-luka yang menghiasi perut itu juga akan menambah rasa ngilu setiap kali Jean bergerak terlalu banyak.

Intinya, Jean hanya perlu banyak beristirahat.

"Je, gue tidur di sini, lo gak akan marah 'kan?" tanya Riki sembari menggenggam lembut jari Jean yang terbebas dari infus.

"Biasanya, lo suka marah kalo gue temenin pas lo lagi sakit. Lo suka nolak kalo gue maksa buat nginep waktu lo lagi gak enak badan. Sekarang, apa lo bakal diem aja ngebiarin gue ngeliat sisi lo yang satu ini?"

Terdengar suara pintu terbuka. Riki kira itu adalah suster yang akan memeriksa temannya.

"Rik?"

Ternyata ia salah. Orang yang membuka pintu tadi adalah Mahesa.

"Kenapa, bang?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari Jean.

"Gue minta maaf. Kalo aja kemarin gue gak nganterin Jean, pasti dia gak bakal kenapa-napa sekarang," suara Mahesa terdengar sangat putus asa.

Riki tidak menjawab. Lebih tepatnya enggan menjawab. Ia marah. Benar-benar marah. Namun dibanding marah pada orang yang telah menyakiti Jean, atau pada Mahesa yang yang menjadi alasan mengapa Jean terbaring lemah sekarang, ia lebih marah pada dirinya sendiri karena gagal menjaga Jean.

"Lupain aja. Yang penting tu cucunguk udah masuk penjara."

"Dia bebas," Mahesa duduk di sofa panjang yang disediakan di sana.

Sedikit info saja, Riki yang membayar biaya perawatan Jean. Dibantu Mahesa yang merasa bersalah, tercetuslah ide untuk menempatkan Jean di kamar VIP.

"Bebas gimana maksud lo, bang?"

"Dia anak berada. Pakek duit. Keluarganya juga ternyata punya peran penting di pemerintahan. Bahkan, pamannya adalah salah satu polisi yang punya peran cukup penting di sana. Lo tahu maksud gue 'kan?"

"Anjing. Tahu gitu, gue buat mati itu orang," marah Riki yang tanpa sadar mencengkram kuat pergelangan tangan Jean.

"Muka dia udah bonyok. Tu anak sempet dilarikan ke rumah sakit karena banyaknya luka yang dia terima. Gue juga mau dituntut keluarganya, cuma gak jadi. Pembelaan gue lebih kuat dan keluarga dia tahu kalau keluarga gue juga bukan orang sembarangan," jelas Mahesa.

Hiraeth | SungwonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang