tak lagi sama

400 65 15
                                    

Sial seribu sial. Jean terlambat bangun senin ini. Kabar buruknya lagi, Riki ternyata tidak masuk karena ada acara keluarga. Sean juga pasti sudah berangkat dari pagi. Artinya, ia harus menaiki bus untuk pergi ke sekolah. Jam menunjukkan pukul 7 pagi. Pemberangkatan bus kedua akan dilakukan pukul 7 lebih 15 menit nanti. Ia tidak punya banyak waktu.

"Ketek gue nggak bau, kan?" Jean mengangkat sebelah lengannya guna memastikan tak ada bau yang menunjukkan bahwa ia memang melewatkan mandinya.

Kaki kecilnya terus ia paksakan berjalan. Sebenarnya, Jean sempat berlari namun perutnya kembali berulah hari ini. Membuat Jean harus berjalan secara perlahan agar rasa sakitnya tidak terasa begitu kentara. Jean melewatkan amanah yang selalu Satya elu-elukan. Yakni sarapan.

Pemberhentian bus sudah ada di depan mata. Jean sedikit merasa tenang mengetahui bahwa ia belum ketinggalan bus. Matanya beberapa kali melihat lalu lalang kendaraan yang memanjakan matanya.

"Liat mobil mencrang begitu jadi kepengen punya sugar daddy, hiks."

Lalu, matanya teralihkan pada sebuah mobil yang berhenti persis di samping tubuhnya.

"Woah, mobil mahal nih. Spionnya kalo dijual kayaknya seharga ginjal."

"Masuk!"

Lamunannya buyar ketika sebuah suara hinggap di telinga.

"Kak Azka?"

"Masuk!"

"Huh?"

Azka yang kepalang gemas memutuskan turun dari mobil guna menghampiri Jean, menuntun anak itu agar duduk di kursi depan. Beruntungnya, anak itu tidak berontak. Ia malah dengan senang hati memasang sabuk pengamannya sendiri. Azka pun dengan tenang mengendarai mobilnya menuju sekolah.

Perjalanan hanya diisi keheningan. Jean yang memang tidak suka suasana canggung seperti ini mencoba mengajak Azka bicara.

"Kak!"

"Hm?"

"Lo beneran pindah eksul?"

Azka yang sedang fokus berkendara hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Bukan karena gue, kan?" cicit Jean diakhir kalimat.

"Bukan," mati-matian Azka menahan tawa menjawabnya.

"Bagus deh. Gue kira gara-gara gue."

Bukan tanpa alasan ia berkata demikian. Karena sabtu itu, ketika ia membolos dan berakhir bersama Riki menonton latihan basket, ternyata orang yang bergabung sebagai pengganti Riki adalah Azka, orang yang pernah ia buat babak belur wajahnya. Di situ, Riki berkata bahwa alasan Azka berpindah adalah karena dirinya. Dan dengan bodohnya, Jean percaya-percaya saja.

"Gue sama sekali gak tertarik sama dunia bela diri. Waktu itu cuma iseng doang ikutan. Apesnya lagi, punggung gue malah kena tendang dilatihan pertama. Mana muka ganteng gue jadi bonyok semua."

Azka mendengar dengan samar bagaimana cengengesan pemuda disampingnya.

"Hhehe. Sorry. Mood gue lagi jelek waktu itu."

"Santai aja. Udah beberapa bulan lewat juga."

"Eh? Tapi, kok pindah ekskulnya pas tengah semester 2 gini sih, kak? Lo ketinggalan jauh dong di ekskul baru lo?"

"Gak juga."

"Enggak?"

"Di sekolah lama gue, gue jadi bagian dari basket. Pas pindah ke sini, gue kaget. Ternyata, di sini pilihan ekskulnya lebih banyak. Niat hati, sih, mau nambah ilmu dengan masuk ekskul yang gak ada di sekolah lama gue. Jadi, gue masuk silat. Awal-awal emang rada enjoy. Makin lama makin sadar kalo potensi gue bukan di sana. Jiwa gue tetep di basket. Pas gue denger Mahesa lagi nyari orang buat gabung karena tim basket kekurangan tim inti, gue ngajuin diri. Beruntungnya, Mahesa masih inget gue. Jadi, gue langsung keterima dan keluar secara baik-baik dari ekskul silat. Ya, walaupun harus ngelewatin beberapa sidang, sih. Cuma, ya, sebenernya gue gak batu-batu banget di basket. Cuma lu nya aja yang baru liat gue di basket," jelas Azka panjang lebar.

Hiraeth | SungwonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang