rewel

388 63 15
                                    

"Bener gak sesek lagi?" tanya Riki yang dibalas anggukan lemah dari Jean.

"Masih lemes gitu, pakein lagi aja, ya, nasal cannula-nya?"

Sejak satu jam yang lalu, Riki dengan sabar membujuk Jean agar tetap memakai alat bantu pernapasan itu. Namun, temannya itu menolak dengan alasan dadanya sudah tidak merasa sesak.

"Ya udah. Tapi kalo nanti sesek lagi, langsung bilang. Oke?"

"Iyaaaa."

Suara pintu terbuka mengalihkan atensi Riki. Seorang suster masuk sembari membawa makanan dan berbagai obat-obatan yang harus diminum Jean.

"Biar saya saja, sus," pinta Riki.

Suster itu pun pamit pergi ketika merasa tugasnya sudah diambil alih oleh orang yang tepat.

"Eits! Gak boleh gitu liatinnya. Ini makanan paling aman buat lo sekarang," ucap Riki ketika melihat tatapan malas dari Jean.

Riki membantu Jean duduk di ranjangnya dengan nyaman. Lalu, ia mulai menyendok bubur itu pelan. Meniupnya beberapa kali agar panasnya cepat hilang. Dirasa sudah tidak terlalu panas, sendok berisi makanan lembek itu ia arahkan ke mulut Jean.

"Nggak mau~" Jean menolak sembari menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

"Jan gitu! Itu infusnya ketarik, astaga," panik Riki mencoba menurunkan tangan Jean.

"Tapi nggak mau!"

"Harus mau. Lo gak mau sembuh?"

"Mauu~," cicit Jean pelan.

"Ya harus makan berarti. Ntar minum obat."

"Makin nggak mauuu~"

"Astaga," Riki gemas luar biasa.

"Biar gue aja, Rik!" tawar Mahesa ketika memasuki ruang rawat Jean.

Riki berpikir sebentar. Ia mengusap pelan kepala Jean lalu menyerahkan bubur itu pada Mahesa.

"Gue percayain sama lo, bang," ucapnya sembari keluar.

Jean yang melihat kepergian Riki tanpa berpamitan padanya pun merasa sedih entah karena apa.

"Riki marah ya?" gumamnya pelan.

Mahesa yang masih bisa menangkap suara lirih itu hanya tersenyum samar, "dia gak marah. Dia khawatir sama lo. Lo tahu? Dia nekat mau donorin darahnya waktu dokter bilang lo kehilangan banyak darah. Golongan darah Lo yang cukup susah didapat ternyata buat Riki langsung bersedia jadi pendonor. Riki bilang, golongan darah dia sama Lo itu sama. Padahal Riki sendiri punya anemia. Beruntungnya, pihak rumah sakit masih punya stok darah yang cukup buat lo. Jadi, Riki nggak perlu sampe harus jadi pendonor ketika pada kenyataannya dia sendiri lebih cocok jadi penerima donor. Riki bahkan nekat mau begadang kalo gue gak bujuk dia buat tidur. Dia nginep di sini, Je. Tidur di kursi ini. Padahal bisa aja dia beli kasur lipat atau bahkan request kasur tambahan ke pihak rumah sakit. Tapi, dia gak mau. Coba tebak kenapa?"

Mahesa tersenyum lembut begitu melihat mata itu berkaca-kaca.

"Karena dia sekhawatir itu sama lo. Dia takut ngelewatin setiap pergerakan lo. Entah lo yang nanti tiba-tiba sadar, atau amit-amit, lo yang bisa aja makin drop. Dia sesayang itu sama lo, Je," Mahesa menghapus pelan air mata di pipi Jean.

"Lo sayang Riki?"

"Sayang," Jean menjawab cepat.

"Jadi harus ngapain dong?"

"Nurut?" tanya Jean ragu.

"Hampir benar. Tapi bukan itu poin utamanya."

"Harus apa?"

Hiraeth | SungwonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang