rumah tanpa kunci

406 65 34
                                    

Pukul 2 siang, Reyhan datang ke ruangan Jean bersama Azka dan Sean. Ruang rawat itu kini ramai dengan senda gurau dari orang-orang yang menjenguk Jean. Namun, Jean sendiri masih tertidur nyaman di bangsalnya. Anak itu terlelap paksa setelah menangis histeris sejak insiden mual yang berkepanjangan. Menyebabkan dokter harus menyuntikan obat bius karena Jean tak kunjung bisa tenang.

"Kenapa tu muka?" tanya Mahesa begitu melihat Riki masuk setelah menemui dokter di ruangannya.

"Tubuh Jean ada racun masa, bang."

"Kok bisa?" Azka bersuara. Terdapat nada sewot didalamnya.

"Gue juga gak tahu," keluhnya setelah duduk dan menyenderkan kepala pada pinggiran bangsal Jean, "gak mungkin dia keracunan makanan. Pihak rumah sakit bikin bubur bukan cuma satu porsi khusus buat Jean. Dan yeah, cuma Jean yang kenapa-napa. Gak mungkin juga suster naro racun di bubur itu. Gue udah lihat CCTV. Dimulai dari bagaimana bubur itu bisa ada di mangkok Jean dan berakhir di tangan gue, semuanya aman terkendali. Gak ada tanda mencurigakan apapun. Gak ada satu orangpun yang kedapatan masuk ke sini dan nabur racun di bubur itu. Gue gak tahu apa yang udah gue lewatin sampe Jean bisa keracunan kayak gini," jelasnya sengsara.

"Gak tega gue. Dia nangisnya kenceng banget sampe batuk-batuk. Katanya, perutnya gak enak, punggungnya nyeri, palanya juga puyeng, kerongkongannya panas. Ngebayangin sakitnya aja rasanya gue mau gila. Racunnya emang nggak mematikan tapi tetep aja bahaya buat Jean yang baru siuman. Untung aja bang Mahes tadi gerak cepet manggil dokter. Kalo nggak..."

Reyhan yang mendengarkan penjelasan Riki sontak menatap tajam pada Sean yang masih bisa bersikap santai.

"Sean. Bisa temani saya ke luar?"

Tanpa menunggu jawaban dari si empu, Reyhan begitu saja pergi keluar. Sean menyusul di belakang setelah izin pada yang lain.

"Rik!" panggil Azka yang tidak mendapat sahutan apa-apa.

"Molor dia?" tanya-nya tidak percaya.

"Biarin aja. Kasian. Pertama kali lihat temennya kayak gini pasti kaget banget. Apalagi yang gue tahu, dia ngejaga banget si lesung pipi," jelas Mahesa.

"Lesung pipi?"

"Si Jean, elah. Dia 'kan punya lesung pipi yang muncul kalo senyum."

"Gue mana tahu njir. Tiap sama gue tu anak marah-marah mulu. Mana pernah gue liat lesung pipinya."

"Serius? HAHAH. Kayak gue dong! Udah sering lihat. Manis banget gilak," Mahesa menyombongkan diri.

"Lo suka dia ya?" tanya Azka yang dibalas gelak tawa dari Mahesa.

"Menurut lo?" Mahesa malah balik bertanya.

"Enggak. Menurut gue, sih, enggak," jawab Azka yakin.

"Itu lo tahu," Mahesa menjeda ucapannya. Dapat Azka lihat tatapan tulus yang Mahesa layangkan pada tubuh Jean yang terbaring lemas di bangsal.

"Gue sayang Jean layaknya adek gue sendiri," kakinya melangkah mendekati Jean. Tangannya secara reflek mengusap pelan pipi berisi yang terdapat plester dan luka goresan di sana-sini.

"Tapi lo bungsu," sahut Azka yang belum mengerti.

"Ya karena gue bungsu, gue pengen ngerasain gimana rasanya punya adek."

"Pungut gue aja yuk! Gue sebatang kara," pintanya pada Mahesa.

"Najis. Sebatang kara tapi kaya raya," sinis Mahesa mendapat respon tawa dari Azka.

Mahesa tersentak kaget ketika mengingat sesuatu.

"Ka!"

"Hm?"

Hiraeth | SungwonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang