"Argh..." Keira menghela napas gusar sembari mengusap wajahnya kasar. Perkataan pedas yang keluar dari bibir Abra pagi tadi masihlah terngiang-ngiang di pikirannya seperti kaset rusak. Dadanya terasa nyeri saat ingat sorot mata merendahkan yang sang suami tujukan untuknya. Sakit sekali rasanya dituduh wanita murahan oleh suaminya sendiri.
Sebagai seorang dokter, tentunya Keira akan selalu berusaha melakukan yang terbaik pada pasiennya. Tak terkecuali Abra, karena lelaki itu suaminya.
Ia merawat Abra bukan semata-mata hanya karena kewajibannya sebagai dokter. Tetapi lebih jauh dari itu, sebab selain dokter, Keira juga istri Abra. Sebagai seorang istri, dirinya tentu memiliki kewajiban untuk berbakti pada suami. Salah satu tanda baktinya, ia merawat Abra yang sedang sakit agar segera sembuh dengan sepenuh hati.
Tapi, Keira sama sekali tak menyangka kalau akan mendapati balasan yang seperti ini dari sang suami setelah merawatnya semalaman. Ia tidak mengharapkan ucapan terima kasih, karena tahu watak Abra yang kaku. Terlebih, ia ikhlas melakukannya. Hanya saja, ucapan yang Abra lontarkan kemudian telah sukses membuat dadanya nyeri bukan main.
Keira tidak menduga kalau Abra bisa berpikir buruk tentangnya usai tahu bagaimana cara dirinya merawat lelaki itu. Suaminya seperti menuduhnya sering melakukan hal itu kepada pasiennya yang lain. Padahal, Keira baru dan hanya pernah melakukannya terhadap Abra. Suaminya sendiri!
Telanjur merasa sakit hati atas ucapan Abra, ia langsung berangkat kerja tanpa menemui suaminya lagi. Tak juga mengucapkan salam dan mengecup tangan Abra seperti kemarin. Yang jelas, ia hanya ingin cepat-cepat pergi dari rumah karena tak tahan dengan tuduhan suaminya.
Sekarang ini, Keira berada di ruang kerjanya. Ia tak pergi makan siang bersama temannya karena mendadak hilang selera. Sarapan pun, ia hanya mampu menelan seperempat porsi bubur ayam yang dibeli di kantin rumah sakit.
"Kei..."
Keira mengangkat wajahnya kala mendengar suara sapaan Jihan yang ternyata sudah ada di ruangan praktiknya. Sengaja tersenyum, ia tidak ingin membuat Jihan sadar kegundahan hatinya yang disebabkan oleh Abra.
"Lo kok nggak ikut makan siang sih, Kei?"
"Masih kenyang gue, Han. Nggak bisa masuk lagi makanannya. Nih bubur ayam gue masih belum habis," sahutnya sembari menunjuk ke arah kotak sterofoam putih di sisi pojok meja kerjanya.
"Bener?"
"Iya, Jihan. Nggak percayaan amat sih," ujar Keira pura-pura sebal.
"Ya habisnya lo tumben-tumbenan nggak ikut makan siang. Mana teman-teman lain nyariin lo. By the way, mata lo kenapa?" tanya Jihan yang membuat Keira terkejut. Jangan-jangan Jihan sadar kalau pagi tadi dirinya menangis?
"Emang mata gue kenapa?" tanya balik Keira pura-pura tak tahu.
"Kayak orang kurang tidur tau! Jangan-jangan semalam lembur ya?" Jihan bertanya sembari menyeringai penuh godaan. Temannya sudah menikah, sehingga alasan apa lagi yang bisa menjelaskan tentang mata panda Keira kalau bukan melayani suaminya. Terlebih lagi, Keira jarang maraton drama sepertinya.
"Apa sih! Udah ah, jangan dibahas!"
Keira hanya mengalihkan pembicaraan tanpa membantah atau membenarkan. Biarlah Jihan berpikiran seperti itu. Walau kenyataannya, ia kurang tidur karena merawat suaminya yang sedang sakit, yang kemudian dibalas ucapan tanpa hati oleh suaminya.
"Cie Keira... Udah dibobol nih ceritanya." Jihan semakin gencar menggoda yang Keira balas pelototan mata. Temannya itu tidak tahu saja kondisi rumah tangganya yang sesungguhnya juga jauh dari pernikahan idaman. Jangankan berhubungan suami istri dengan sang suami, ia yang melepas pakaian Abra dan memeluk suaminya itu dengan tujuan medis pun malah dituduh yang bukan-bukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unpredictable Destiny
RomanceKeira tersenyum getir saat tahu dirinya akan dijodohkan dengan seorang pemuda yang tak lain adalah anak dari rekan bisnis papanya. Ia paling tak suka diatur-atur, terlebih mengenai pasangan hidup. Namun anehnya, semua terasa berbeda kala Keira melih...