Part 15

9.2K 894 46
                                    

Tiga bulan kemudian...

Bulu mata lentik nan lebat milik Keira bergerak lambat saat wanita itu mengerjapkan matanya. Keningnya tiba-tiba mengernyit begitu sadar dirinya tidak berada di kamarnya yang biasa. Melainkan, sedang berada di kamar Abra.

Selama lebih dari empat bulan menikah dan setelah tiga bulan lamanya Abra menjalani terapi, sekali pun mereka tak pernah tidur di kamar yang sama. Tapi mengapa saat ini dirinya terbangun di atas kasur milik suaminya?

Meskipun Abra sudah mulai biasa berdekatan dengannya, tapi tak ada pembahasan ke arah sana. Pun, setiap Keira akan pergi tidur, Abra tidak pernah mengajaknya tidur di kamar yang sama. Tapi tidak masalah, semua memang butuh waktu. Keira akan sabar menanti Abra benar-benar menerima dan jatuh cinta kepadanya.

Suara gemercik air yang berasal dari kamar mandi membuat Keira tersadar kalau suaminya sedang membersihkan diri di sana. Praktis saja ia langsung mengamati penampilannya dan dapat menghela napas lega begitu mengetahui dirinya masih mengenakan pakaian lengkap. Lagi pula, memangnya apa yang Keira harapkan? Abra menyentuhnya? Mana mungkin!

Dalam rentang waktu tiga bulan ini, hubungan mereka sudah lebih baik dari bulan pertama pernikahan. Namun, tetap saja mereka belum pernah menjalankan kewajiban sebagai suami dan istri. Ya, sampai sekarang Keira masih tetap gadis. Jangankan disentuh dalam arti yang sangat intim, berciuman bibir pun tidak pernah lagi selain ketika Keira ditampar waktu itu.

Ngomong-ngomong, Abra sudah tiga bulan melakukan terapi. Perubahan pada diri suaminya cukup banyak, meski lelaki itu belum dikatakan sembuh total. Abra masih harus menjalani beberapa sesi terapi lagi sampai ketakutannya benar-benar hilang dan dapat menghadapi kejadian yang serupa tanpa harus merasa gemetar. Selama ini, Keira setia menemani proses penyembuhan sang suami.

“Sudah bangun?”

Keira menoleh dan tersenyum tipis pada suaminya yang baru keluar dari kamar mandi. Kemudian, ia langsung mengalihkan tatapan agar tidak memandangi Abra yang hanya mengenakan handuk sebatas lutut. Ia tidak ingin jikalau Abra bisa melihat wajahnya yang memerah lantaran tergiur untuk menyentuh dada bidang sang suami.

“Iya, Mas. Aku kenapa bisa tidur di kamar kamu ya?”

“Semalam kamu ketiduran lagi, pas kita dalam perjalanan pulang dari rumah Mama. Makanya saya bawa ke sini aja. Tapi saya nggak ngapa-ngapain kamu kok,” jawab Abra.

“Kamu ngapa-ngapain aku, juga nggak apa-apa kok, Mas. Kamu ‘kan suami aku,” balas Keira bergumam dengan volume kecil. Sangat kecil agar Abra tidak mendengar. Tetapi sepertinya sang suami masih dapat mendengar lantaran alisnya mendadak terangkat. Hingga kemudian, Abra malah terkekeh kecil.

Begitulah, terapi membuat suaminya perlahan mencair. Abra tidak sekaku awalnya, lelaki itu sudah mulai bisa meladeni candaannya. Tentu saja Keira merasa senang akan hal itu. Harapannya agar sang suami bisa pulih, tampaknya akan segera terwujud. Semoga.

“Belum saatnya, Keira,” sahut Abra yang membuat wajah sang istri merona. “Lagian, saya nggak mau bikin kamu kecewa jika seandainya saya belum benar-benar bisa berdamai dengan masa lalu,” tambah Abra lagi.  

Empat bulan pernikahan, tidak sekalipun Keira pernah mendapatkan haknya sebagai seorang istri. Abra meringis mengingat hal itu. Tetapi mau bagaimana lagi, ia terlalu takut untuk mencoba. Takut hanya akan mengecewakan Keira jika di tengah-tengah jalan dirinya berhenti. Suatu saat, Abra pasti akan memberikan itu pada istrinya yang sudah selalu bersabar.

“Em, aku ke kamar dulu ya, Mas. Mau mandi juga,” ujar Keira kikuk yang Abra balas anggukkan kepala.

***

Unpredictable DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang