Part 25

6.2K 519 12
                                    

Keesokan paginya, Keira dan Abra sarapan bersama seperti biasanya sebelum mereka berangkat kerja. Keira makan dalam diam tanpa berani menatap sang suami lantaran masih merasa malu atas kejadian semalam. Mereka suami istri, sah-sah saja memang jika melakukan hubungan badan. Hanya saja, entah mengapa wajahnya tak mau berhenti merona ketika mengingatnya.

"Kemarin Papa ke kantor nemuin Mas. Papa nyaranin kita buat pergi liburan," ujar Abra di sela-sela kegiatan makannya.

"Liburan?"

Keira langsung mengangkat wajahnya begitu mendengar ucapan Abra itu. Alhasil, matanya bertemu pandang dengan mata sang suami. "Dalam rangka apa?"

"Hm. Papa bilang, kita nikahnya nggak pakai acara bulan madu. Makanya ngusulin liburan sekaligus bulan madu. Kamu tau sendiri 'kan kalau Papa sama Mama udah kepengen kita punya anak."

Blush. Wajah Keira kian merona ketika Abra mengatakan perihal anak. Sebelum memiliki anak, tentunya ada proses yang harus dilalui oleh mereka berdua. Proses menyenangkan seperti yang semalam mereka lakukan.

"Emang perlu ya, Mas? Kita 'kan udah itu-," ujar Keira malu dan sengaja tak melanjutkan ucapannya. "Harusnya tinggal nunggu hasil aja 'kan?" tambahnya dengan susah payah.

Abra yang mendengar ucapan sang istri pun mengulas senyum. "Perlu nggak perlunya ya tergantung kamu. Makanya Mas tanyain ke kamu dulu. Kalo kamu pengen kita pergi ya ayo. Kalo nggak, ya nggak masalah juga 'kan. Toh di sini sama aja, kita masih bisa bikinin Papa sama Mama cucu," sahutnya menggoda.

"Apaan sih, Mas," gerutu Keira karena salah tingkah. Ia sengaja memalingkan wajah dari suaminya yang mendadak sering menggoda setelah mereka pernah berhubungan suami istri.

"Jadi gimana, hm?" tanya Abra sekali lagi.

Keira terdiam sejenak untuk berpikir. Pergi liburan bersama Abra memang merupakan kesempatan yang bagus untuk mempererat hubungan mereka. Namun, kesempatan bagi sang suami untuk menagih haknya pun kian bertambah lebar lantaran mereka tidak ada kegiatan lain. Bisa-bisa Keira sering digarap oleh suaminya karena tujuan mereka untuk memiliki anak. Membayangkan hal itu sukses membuat wajahnya memanas. Akan tetapi, ia kemudian teringat mengenai ancaman Mike.

Mungkinkah berlibur merupakan pilihan yang tepat? Selama mereka tidak berada di dekat Mike, mungkin Keira bisa merasa tenang dan dapat memikirkan solusi kedepannya.

"Setelah aku pikir-pikir, kayaknya usul Papa boleh juga. Aku mau, Mas."

"Bener?"

"Heem," jawab Keira sembari mengangguk.

"Ya udah, lusa kita pergi liburan. Tapi kamu maunya kita ke mana?"

"Ke mana aja terserah kamu. Aku ngikut aja. Yang penting sama kamu," jawab Keira lagi yang membuat Abra tertawa kecil kemudian mencubit hidung sang istri lantaran merasa gemas.

"Nanti biar Mas yang urus soal liburan kita. Kamu jangan lupa siapin surat izin cuti biar kita bisa pergi."

"Iya."

Begitu telah menyelesaikan sarapan, mereka segera berangkat agar tidak terlambat. Saat masih di rumah, perasaan Keira masih cukup tenang dan baik-baik saja. Akan tetapi, resah itu kembali hadir ketika mereka sudah dekat dengan rumah sakit.

Jelas saja Keira tidak tenang, sebab di sana ada seseorang yang mengancamnya. Orang yang telah melukai Abra sehingga mengalami trauma. Keira yang tidak mengalami trauma apa pun dibuat merasa takut untuk bertemu lelaki itu. Maka dari itu, sebisanya ia akan menghindar.

Setelah berpamitan pada sang suami, Keira melangkahkan kaki menuju ruang praktiknya. Ia berjalan cukup cepat sembari menoleh ke kanan lalu ke kiri demi memastikan Mike tak ada di sekitarnya.

Unpredictable DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang