Menjadi wanita baik-baik yang anggun, sudah Keira lakukan. Menjadi yang lumayan agresif juga sudah. Namun, masih saja Abra bersikap dingin kepadanya. Bahkan semakin membeku setelah kejadian di kamarnya kemarin. Keira tak tahu harus berbuat apa lagi.
Abra terlalu jauh untuk bisa dirinya raih. Lelaki itu membatasi diri dengan sangat ketat. Saat dirinya cium saja, Abra langsung menatapnya tajam seolah tidak suka setelah sempat diam mematung beberapa detik. Ketika Keira goda pun, Abra malah menolak dan langsung pergi.
Apakah Keira memang tak memarik sampai suaminya tidak tergoda?
"Aku bener-bener nggak tau harus ngelakuin apa lagi, Mbak," curhatnya pada sang kakak ipar pada keesokan harinya Syabila datang dan mengajaknya makan siang bersama di restoran yang tak jauh dari rumah sakit.
Mendengarnya Syabila ikut prihatin. Wanita itu meraih tangan Keira dan menggenggam lembut. "Maafin Abra ya, Kei."
"Bukan salah dia, Mbak. Mungkin emang aku yang nggak menarik. Makanya nggak pernah di—notice sama dia," balas Keira getir.
"Nggak, Keira. Nggak ada yang salah sama kamu. Kamu cantik loh. Tapi emang adiknya Mbak aja yang nggak bersyukur punya istri kayak kamu. Tapi satu yang kamu harus tau, Abra kayak gini masih ada hubungannya sama masa lalu dia."
"Masa lalu harusnya dilupain, Mbak. Bukannya diingat-ingat terus. Aku bukannya nggak bisa ngerti, aku simpatik karena dia ditinggal istri, tapi aku nggak kuat kalo terus-terusan kayak gini. Meski kami nikahnya nggak saling cinta, tapi aku tetap istrinya. Aku pengen disayang kayak istri-istri pada umumnya. Jujur aja, aku lelah saat ditanya temen-temen aku tentang dia. Aku lelah berpura-pura bahagia dengan nutupin permasalahan kami sebenarnya."
Syabila membawa Keira ke pelukannya untuk menenangkan adik iparnya itu. Ia bisa paham dengan perasaan Keira karena tidak mudah menghadapi Abra. Melalui cerita yang Syabila dengar, ia bisa tahu kalau adik iparnya orang yang kuat.
"Sebagai kakaknya Abra, Mbak pengen kamu bertahan dan nggak meduliin perlakuan Abra yang kayak gitu. Tapi Mbak juga nggak bisa egois sama kamu. Mbak bisa ngerti gimana perasaan kamu, sehingga... apa pun akhirnya, Mbak akan tetap dukung. Kalo memang udah nggak tahan dan pengen pisah dari adiknya Mbak, Mbak nggak bisa larang."
Keira menghapus air matanya yang menetes membasahi pipi. Sebenarnya ia tidak pernah mengharapkan perpisahan. Keira hanya ingin Abra berubah menjadi lebih terbuka.
"Kami nikah baru dua minggu, Mbak."
"Mbak tau. Tapi kalo emang udah nggak kuat lagi, mending diakhiri aja. Kamu pantes dapat yang lebih baik dari adik Mbak, Kamu pantes bahagia, walaupun sebenarnya Mbak pengen kamu bisa bahagia sama Abra."
"Kalo aku berhenti di sini, apa Mbak bakalan marah sama kamu?'
Syabila menggeleng. "Mbak nggak bakalan marah, Keira. Mbak terima segala keputusan kamu," jawabnya ramah.
"Ya udah. Aku mau bertahan, Mbak. Sekalian ngetes sejauh mana aku bisa bertahan. Tapi, kalo aku udah beneran lelah, nggak tau harus ngapain lagi. Aku minta maaf duluan ke Mbak, kalo misalnya aku mutusin buat pisah," sahut Keira yang memunculkan senyuman di wajah kakak iparnya.
"Iya. Semangat ya."
Mengangguk sebagai balasan, Keira meneguk minuman yang ada di hadapannya kemudian menatap Syabila. "Ngomong-ngomong, Mbak, Mas Abra kok nggak suka dipanggil Abraham ya? Apa karena mendiang istrinya yang dulu manggil kayak gitu?" tanya Keira.
"Benar. Abraham panggilan kesayangan dari almarhum Stella. Mereka jatuh cinta saat masih kuliah semester lima kayaknya. Mbak agak lupa juga. Terus mutusin nikah setelah tiga tahun mereka lulus kuliah. Usia Abra waktu itu dua puluh lima tahun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Unpredictable Destiny
RomanceKeira tersenyum getir saat tahu dirinya akan dijodohkan dengan seorang pemuda yang tak lain adalah anak dari rekan bisnis papanya. Ia paling tak suka diatur-atur, terlebih mengenai pasangan hidup. Namun anehnya, semua terasa berbeda kala Keira melih...