Keira sudah selesai mandi dan berpakaian beberapa saat yang lalu. Begitu juga halnya dengan sang suami. Kini mereka sama-sama masih berada di dalam kamar dengan Abra yang tengah sibuk memainkan ponsel. Entah sedang melakukan apa, Keira tak tahu sama sekali karena tidak berani mendekati Abra. Sementara Keira sendiri sedang merapikan rambutnya yang masih sedikit basah. Wajah Keira masih saja sering merona ketika ingat apa yang sudah saja terjadi antara dirinya dan sang suami.
"Em, aku mau masak dulu ya, Mas," ujarnya seraya bangkit dari kursi meja rias selepas selesai menyisir rambut. Keira berniat pergi dari kamar itu lantaran akan merasa salah tingkah jika teringat aktivitas menyenangkan yang telah mereka lalui bersama di tempat tidur juga kamar mandi tadi.
Abra yang semula fokus pada ponselnya pun mulai mengalihkan perhatiannya pada Keira. "Nggak usah. Saya— maksudnya Mas sudah pesan makan malam buat kita. Kamu lanjut istirahat aja," sahut Abra seraya mendekati sang istri kemudian membawa Keira duduk di tepi kasur yang sudah kembali rapi usai diganti seprainya.
"Jadi dari tadi kamu mainin ponsel itu buat pesan makan malam kita?" tanya Keira tak menyangka. Ia sempat berpikir Abra sedang membalas pesan dari keluarganya atau pula membahas pekerjaan dengan karyawannya. Tapi ternyata malah memesan makan malam untuk mereka. Tanpa sadar, sudut bibirnya terangkat membentuk lengkungan senyuman manis.
"Memangnya kamu ngira Mas lagi ngapain? Chattingan sama wanita lain selain kamu? Mana mungkin, Keira," sahut Abra sembari menyentuh hidung Keira gemas.
"Aku pikir kamu lagi kerja atau balesin chat dari Mama," sahut Keira jujur mengenai isi pikirannya. "Tapi kamu kok pesan makanan di luar sih, Mas? Aku masih bisa masak kok."
"Yakin kamu bisa masak dengan kondisi yang kayak gitu?" tanya Abra dengan kening yang sengaja digerakkan turun-naik. Begitu sadar maksud ucapan sang suami, wajah Keira pun langsung merona malu.
"Apaan sih, Mas!" kilahnya salah tingkah.
"Udah ya. Kamu istirahat dulu aja biar nggak makin sakit," balas Abra sambil terkekeh. Ia sengaja memesan makanan karena tak tega melihat Keira memasak setelah melayaninya. Istrinya baru pertama kali melakukan yang seperti itu, sehingga sudah pasti belum biasa dengan efek yang ada.
"Makasih ya, Mas," gumam Keira. Ia sengaja menyenderkan wajahnya di dada sang suami. Rasanya Keira betah dan ingin selalu berada di dalam pelukan hangat lelaki itu.
"Makasih buat apa?" Abra bertanya sembari mengelus rambut istrinya. Ia menunduk lalu mengecup puncak kepala sang istri mesra.
"Makasih karena kamu udah nurutin maunya aku buat nggak manggil saya lagi, tapi Mas. Makasih ya, Mas. Aku seneng banget."
"Sama-sama."
Mereka cukup lama bertahan di posisi yang sama. Abra baru melepas dekapannya begitu terdengar suara bel pintu dibunyikan oleh si pengantar makanan yang sudah tiba. "Kamu tunggu di sini aja ya. Biar Mas yang bukain pintu sekaligus ngambil piring sama sendok. Nanti kita makannya di sini aja," ujar lelaki itu seraya mengusap puncak kepala Keira.
"Heem," angguk Keira mengiyakan.
Setelah kepergian sang suami, Keira tidak henti-hentinya mengukir senyum manis. Ia tak pernah menyangka jika suaminya akan semakin perhatian selepas apa yang telah terjadi di antara mereka. Lepas perawan memang sakit, tapi sebanding dengan rasa nikmat yang kemudian dirinya dapatkan. Ditambah dengan sikap manis Abra yang seperti ini, tentu saja ia merasa bahagia.
Pada dasarnya Keira bukanlah wanita yang manja. Sekalipun bagian bawah terasa nyeri, tapi dirinya masih mampu berjalan ke ruang makan. Akan tetapi biarlah sesuai dengan keinginan suaminya saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unpredictable Destiny
RomanceKeira tersenyum getir saat tahu dirinya akan dijodohkan dengan seorang pemuda yang tak lain adalah anak dari rekan bisnis papanya. Ia paling tak suka diatur-atur, terlebih mengenai pasangan hidup. Namun anehnya, semua terasa berbeda kala Keira melih...