"Jangan! Jangan mendekat!"
Hati Abra terasa remuk saat melihat istrinya tengah ketakutan. Terpaksa, ia menghentikan langkah kakinya di ambang kamar hanya untuk membiarkan sang istri menangis dan meluapkan kesedihannya.
Sering kali kejadian seperti ini terulang setelah istrinya mengalami pelecehan yang dinamakan pemerkosaan. Mengingat hal itu, rasanya Abra ingin membunuh semua pelaku yang membuat hidup dan keceriaan istrinya menghilang. Tak ada lagi tawa yang menyambut Abra, melainkan hanya tatapan sedih. Bahkan, sering kali Stella tak mau dekat-dekat padanya lagi. Semua memang dikarenakan kejadian naas itu.
"Aku suami kamu, Sayang," ujar Abra mengingatkan. Dengan langkah pelan, ia menghampiri istrinya. Tetapi, begitu ingin memeluk wanita terkasihnya itu, istrinya kembali berteriak yang membuat dada Abra meradang.
"Jangan sentuh aku! Aku kotor!"
Suami mana yang tahan melihat istrinya menistakan diri sendiri karena ulah orang-orang keji yang tak pantas disebut manusia? Tanpa hati, mereka telah memperkosa istrinya. Bukan hanya seorang, tetapi beberapa orang. Kejadian yang akhirnya membuat kewarasan istrinya mulai terguncang.
Abra terduduk bangun dari tidurnya secara tiba-tiba. Lelaki itu menatap sekelilingnya lantas mengusap wajah kasar. Sekarang ia ada di kamarnya sendiri. Bukan di kamar yang ada di rumah orang tuanya dulu. Kamar yang penuh kenangan pahit. Kini semua telah berbeda, istrinya mungkin sudah tenang dan tak akan merasa sedih lagi di alam sana. Sementara di sini, Abra memiliki kehidupan lain bersama tanggung jawabnya yang baru. Istrinya.
Mengingat tentang Keira, Abra benar-benar menyesal karena telah menampar wanita itu. Ia juga merasa bersalah karena tak bisa menolong Keira semalam sehingga harus meminta bantuan kakak iparnya. Tadi malam, tak ada yang terjadi pada mereka. Abra tetaplah tidur di kamarnya sendiri, begitu juga halnya dengan Keira yang tidur di kamar biasanya.
Hubungan mereka mungkin akan membaik setelah ini karena Keira sudah tahu tentang masa lalunya. Namun, tetap saja tak secepat itu untuk Abra bisa menerima semuanya. Ia perlu waktu yang lebih banyak untuk sepenuhnya bisa mengikhlaskan almarhumah istrinya dan menerima Keira sebagai istrinya yang baru.
Tok tok tok
Abra menoleh ketika mendengar suara pintu diketuk seiring dengan masuknya Keira ke kamarnya. Wanita itu mengulas senyum hangat padanya. Padahal, kemarin wajah itu basah dengan air mata karena penolakan dan tamparan darinya. Tetapi sekarang, Keira sudah kembali tersenyum ceria. Mirip istrinya dulu saat belum dilecehkan.
Sejujurnya, Abra takut membina rumah tangga karena hal itu. Ia takut tidak bisa membahagiakan dan menjaga istrinya sendiri seperti apa yang terjadi pada almarhumah Stella. Tetapi, demi keluarganya yang memupuk harapan begitu besar, akhirnya Abra pasrah. Mungkin sekarang, memang sudah saatnya untuk mulai menerima takdir tidak terduganya ini.
"Kamu sudah bangun, Mas? Sudah lebih baik?" tanya Keira lembut. Sebenarnya wanita itu istri idaman. Keira cantik, baik hati, dan tentu saja sangat perhatian. Abra harusnya beruntung memilikinya, tetapi sayang yang Abra lakukan malah sering menyakitinya.
"Sudah," jawab Abra mencoba ramah. Ia sadar kalau tidak seharusnya bersikap ketus pada sang istri yang tidak tahu apa pun.
"Kalo gitu, mungkin kamu mau mandi? Biar aku bantu nyiapin pakaian?" tanya Keira meminta izin.
"Terima kasih, tapi tolong siapin sarapan aja. Saya lapar."
"Ah. Sarapan udah siap kok, Mas. Kamu tinggal mandi aja dulu. Biar habis itu kita sarapan."
"Oke."
Setelah itu, Abra beranjak menuju kamar mandi, meninggalkan Keira yang memilih merapikan tempat tidur suaminya. Usai itu, Keira meraih pakaian sang suami dari lemari. Begitu Abra keluar dari kamar mandi, Keira sudah kembali ke ruang makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unpredictable Destiny
RomanceKeira tersenyum getir saat tahu dirinya akan dijodohkan dengan seorang pemuda yang tak lain adalah anak dari rekan bisnis papanya. Ia paling tak suka diatur-atur, terlebih mengenai pasangan hidup. Namun anehnya, semua terasa berbeda kala Keira melih...