Winter Rain

16 2 2
                                    

It's been a long time
Mungkin akan sedikit kaku, tapi aku harap masih layak untuk dibaca. Meski yeah, aku kembali dengan keklisean pasangan absurd ini. Wkwwk. Semoga masih ada yang sudi membaca.

Enjoy.

...

“Aku rindu padamu, Mi~ya.”

“Brengsek, kau, Kim Jong-woon,”

.
.
.

Apa yang paling meresahkan dibanding menunggu toilet yang sedang antre saat rasa ingin buang air sudah di ujung tanduk? Bagi Jung Ji-mi, itu adalah menanti telepon dari Kim Jong-woon, yang sedang marah karena Ji-mi tidak sengaja merusak sebuat kas...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Apa yang paling meresahkan dibanding menunggu toilet yang sedang antre saat rasa ingin buang air sudah di ujung tanduk? Bagi Jung Ji-mi, itu adalah menanti telepon dari Kim Jong-woon, yang sedang marah karena Ji-mi tidak sengaja merusak sebuat kaset film kesayangannya.

Ji-mi tidak ingin mengakui bahwa ia merindukan laki-laki brengsek yang sudah mengabaikannya seminggu ini. Namun, kenapa ia terus menimang ponselnya, seolah benda itu akan mengeluarkan harta karun kapan saja?

Ia gusar. Hatinya kelabu selayaknya langit Seoul yang mendung; terlihat abu pudar, siap  mengguyurkan air yang membantu bebungaan mekar. Atau barangkali, hujan di bulan Desember tidak memiliki tugas seperti itu.

Helaan napasnya tak terhitung lagi, barangkali bisa dikumpulkan untuk mengisi beberapa balon ulang tahun warna-warni. Tidak bisakah ia saja yang menelepon duluan dan mengatakan jutaan buncah kerinduan? Tentu. Tidak bisa. Mana bisa ia mengalah duluan, sementara Jong-woon tidak memberi sedikit pun tanda akan menyerah? Ji-mi berani bersumpah akan mendiamkan Jong-woon kalau sampai laki-laki itu meneleponnya.

Lima belas menit berlalu. Hujan mulai menunjukkan tanda-tanda kehadirannya. Gerimis kecil seakan mencoba kesiapan kota Seoul menghadapi guyuran yang lebih ramai; dan air mulai turun dalam rinai-rinai yang membasahi bingkai. Mendarat di bingkai jendela, mengembun di kaca, lalu dinginnya merebak, menelusup masuk melalui celah terkecil lubang angin.

Selama proses muram sekaligus damai dan sering diromantisasi itu, Ji-mi masih menunggu dalam geming. Benaknya dipenuhi tanda tanya. Apakah Jong-woon sudah lupa kepadanya? Sudah lupa bahwa mereka masih memiliki hubungan yang perlu dirawat dengan baik?

Ji-mi nyaris menyerah. Kantuk perlahan menyergap, membuat matanya mengerjap-ngerjap. Ia memutuskan untuk merebahkan diri di kasur, tidur siang dengan cuaca begini, dan kondisi tidak-tahu-harus-melakukan-apalagi, adalah hal terbaik yang bisa ia lakukan.

Namun saat matanya mulai sayu, siap menuju alam mimpi, ponselnya bergetar. Getar yang panjang. Itu telepon. Ia egera meraih ponsel, menggesernya begitu melihat nama si pemanggil, tanpa sadar mengembuskan napas lega.

“Sedang apa?”

Itu sapaaan seseorang di seberang sana.

Ia berusaha menahan diri. Untuk tidak menjawab. Untuk diam saja sampai si brengsek satu ini menutup panggilan. Namun, kalimat selanjutnya yang Kim Jong-woon ucapkan, telah dengan nyata membuatnya menjilat ludah sendiri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 31, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Love TalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang