Memories - 1

80 9 0
                                    

[Tulisan ini dibuat saat Jong-Woon masih menjalani wamil, maafkeun kalau bahasanya agak alay. Daripada dibuang sayang, lumayan nambah chapter gitu]

.
.
.

"Jong, kau rindu bernyanyi?" aku berjinjit, mengacak rambut lurus menggelikan milik Jong-Woon dengan gemas. Aku menyukainya, dan jika melihat wajah sebal Kim Jong-Woon, aku yakin dia sangat tidak menyukai kegiatan yang aku lakukan saat ini. Satu sudut bibirku tertarik ke atas ketika laki-laki bermata tajam ini menggenggam pergelangan tanganku, memberikanku tatapan penuh sebal yang... Imut sekali.

"Kau, Jung Ji-Mi, merusak tatanan rambutku, oke?"

"Hei, itu bukan jawaban atas pertanyaanku, idiot," entah mendapat ilham dari mana, tangan kananku dengan sembarangan meraih telinga Jongwoon, membuat laki-laki itu meringis dan mengusap telinganya yang mungkinterasa panas.

"Astaga, demi Tuhan, Mi-ya, kau memperlakukanku seperti memperlakukan seorang anak kecil yang bandel," dia memberengut, membuatku ingin sekali menendang tulang keringnya hingga dia mengaduh lagi, mengerang kesakitan. Well, ekspresi wajahnya saat sedang tersiksa benar-benar membuatku semakin mencintainya. Hei, jangan mendelikkan matamu seperti itu! Aku tetap mencintai Jong-Woon, oke? Aku bukan psikopat gila.

Aku terikikik, membuat pipiku menghangat dan menyemu merah. Laki-laki itu hendak berbalik dan masuk ke dalam kafe miliknya, sebelum tanganku menarik paksa ransel yang tengah ia gendong dan memutar tubuhnya menghadap ke arahku. Dan dia berbalik, memandangiku dengan malas dari jarak kurang dari satu meter ini. Matanya, selalu menjadi objek paling membuatku merasa gugup jika sedang menatapku. Terlalu tajam.

Aku tak kuasa menahan senyum ketika Jong-Woon menggerutu, mengatakan segala hal tentang... Bagaimana aku ini. Aku mendengar dia mengumpat seperti ini tadi, "Dasar kekasih yang tidak peka." dan "Aku yakin roh seorang nenek sihir sedang hinggap di tubuhmu." oke, sepertinya aku mulai keterlaluan. Tapi astaga, nenek sihir? Apa maksudnya?

"Woon-a..."

"Jangan memanggilku seperti itu," dia menghela napas kasar, "aku memang rindu menyanyi."

"Kau bisa menyanyi untukku, Tuan. Gratis?"

"No."

Mataku menyipit, memintanya memberikan penjelasan satu kata tadi. "Nak, aku kekasihmu, tidak masalah, kan, jika aku mendengarmu menyanyi tanpa harus membayar?" aku mengetuk-ngetukkan kaki kananku, menyilangkan tangan di depan dada dan memberikan tatapan layaknya seorang pemalak yang sedang memeras anak kecil.

Kim Jong Woon tersenyum lebar hingga matanya membentuk segaris. Lalu dia berkata, "Aku penyanyi. Aku berhak mendapat bayaran, kau tahu?" dan dia mengangkat dagunya penuh rasa percaya diri, menaikkan sebelah alis sembari memajukan tubuh, menyudutkanku pada sebuah tiang listrik. "Kau tidak keberatan, 'kan?"

Tubuhku bagaikan terkena aliran listrik, darah berdesir dari jantung hingga ke pipiku, membuat seluruh tubuhku terasa panas. Kim Jong-Woon, kau... Kenapa bisa membuat efek yang begitu besar pada sistem kerja tubuhku?!

"Kau..."

Dia malah tersenyum manis, membuat semut-semut siap untuk mengerubungi wajahnya.

"Kau bisa membayarku dengan satu kata."

Mataku mengerjap, lalu membelalak, membuat tangan jahil Kim Jong-Woon menyentil kelopak mataku pelan. Dia terikikik. Masih di depan wajahku. Hanya saja, dia menelengkan kepala ke kanan ketika aku mulai membelalakkan mata.

"Kau perhitungan sekali. Pelit." aku mendecak.

"Hei, kau hanya perlu memanggilku dengan sebutan 'sayang', apa sulitnya? Dengan begitu, aku akan bernyanyi untukmu sepanjang hari."

"Hanya sekali?"

"Tidak, sepanjang hari. Setiap waktu. Setiap detik. Selama kau berada di sisiku."

"Apa-apaan?! Kau mau mulutku berbusa saat bersamamu?!"

"Mulutmu tidak akan berbusa. Kau berlebihan."

"Ya Tuhan..."

Dan aku melenggang, dengan tangan kanan yang memegang kening, merasa pusing dengan permintaan aneh laki-laki itu. Aku masuk ke dalam kafe, tidak memedulikan suara tawa Jong-Woon yang membuat kepalaku semakin pening.

Love TalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang