Semicolon; Let's Go Home

265 18 14
                                    

"Sudah kubilang, 'kan, jangan berkeliaran sendirian kalau fase maniamu berakhir—"

Kim Jong-Woon mulai berceloteh, tidak terbendung. Untuk sesaat aku ingin melemparkannya ke sungai Han demi membuat bibirnya beku dan berhenti menceramahiku. Matahari terbit membuat langit berwarna oranye, lebih menarik untuk aku pandangi daripada harus pusing melihat wajah Jong-Woon yang demi apapun hari itu terlihat super menyebalkan.

"—aku sudah mencarimu ke mana-mana semalaman. Dan tidak. Aku tidak menyalahkanmu untuk mataku yang memerah, untuk leherku yang sakit karena mengemudi semalaman. Aku hanya akan menyalahkanmu karena membuatku khawatir setengah hidup. Aku benar-benar akan menyalahkanmu kalau aku harus mati karena khawatir bahwa kau mungkin saja sudah tidak ada lagi di duni—"

"Aku masih di depanmu, oke? Aku masih hidup." Sambarku lemah, meliriknya sekilas sebelum memerhatikan ujung sepatuku tanpa minat.

"Kau tahu?"

"Aku tidak ta—"

"Dengar dulu, Bodoh." Dia memotong, "Kau tahu bagaimana seharusnya seorang gadis bersikap saat seorang laki-laki mengatakan hal-hal yang barusan aku katakan?"

"Kau tahu, 'kan kalau aku tidak normal? Kau tadi bilang kalau fase maniaku berakhir. Aku tidak normal, Idiot, kau tahu itu."

Ada hening yang meraja di antara kami. Aku menelan ludah.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Empat detik.

"Ayo pulang."

Suara Jong-Woon melembut, dan aku menyadari sebelah tangan laki-laki itu terulur, memberi izin untuk kugenggam. Atensiku teralih pada wajahnya, kemudian aku menyadari tatapan mata si Idiot tampan ini berubah; lembut sekaligus meneduhkan, tanpa permisi merebut perhatianku dari matahari terbit yang aku cintai. Sial. Tampaknya laki-laki ini lebih kucintai daripada matahari terbit di pagi hari.

"Aku akan berusaha agar fase maniamu tidak kabur lagi. Aku akan berusaha untuk mengahalangi fase depresi datang padamu dan membuatmu jauh dariku. Hah. Fase depresi itu harusnya kubunuh saja. Aku tidak sanggup membayangkan satu hari saja tanpamu, kau tahu Ji-Mi-ya?"

Si Idiot ini. Kalimatnya tadi terdengar bodoh bahkan di telingaku sendiri. Sungguh.

Tapi entah bagaimana... membuat aku merasa lebih baik dan... hangat. Sekaligus tanpa peringatan membuat tanganku bergerak, menyambut uluran tangan laki-laki itu.

Sebuah senyum tipis hadir di wajahnya, lalu bibirku secara konstan membentuk garis yang sama.

Lalu saat tangan kami bersentuhan, aku tahu kalau laki-laki ini memang satu-satunya yang bisa membuat fase maniaku bertahan lebih lama. Aku... akan selalu bahagia kalau dia ada di sisiku. Aku akan selalu bahagia... asalkan Kim Jong-Woon tersenyum seperti ini padaku. Setiap hari dalam hidupku. Itu sudah cukup.

Love TalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang