If You were Me

60 6 5
                                    

Kupikir aku bisa berhenti mencintaimu, tapi rupa-rupanya, itu hanya ada dalam mimpi terburukku.

.
.
.

Ji-Mi berpikir bahwa ia pernah berhenti memuja laki-laki itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ji-Mi berpikir bahwa ia pernah berhenti memuja laki-laki itu. Barangkali dalam imajinasi terliarnya ketika malam-malam tanpa tidur harus dilalui; atau barangkali saat pikirannya melantur ke mana-mana, sementara matanya menikmati tawa menyenangkan Kim Jong-Woon.

Namun rasa-rasanya, ia hampir tidak pernah melakukan itu. Setiap derai tawa Jong-Woon, tiap-tiap senyuman bulat sabit di sepasang jelaganya, juga semua ucapan sepele dari mulutnya, terasa bagai tangan Jong-Woon yang selalu berhasil meraih Ji-Mi dalam pelukan. Segala sesuatu itu, rupanya selalu  membuatnya jatuh lebih dan lebih dalam lagi.

Ji-Mi pernah mencoba untuk kabur dari kenyataan. Pernah, suatu waktu, ia menyangkal cinta Jong-Woon seolah dirinya manusia pilang hina yang tidak sepantasnya dicintai. Namun lewat kenekatan Jong-Woon,  seperti saat laki-laki itu menyetir semalaman demi mencarinya, Ji-Mi tidak bisa lagi menghindar. Jong-Woon selalu melangkah lebih cepat, seakan Ji-Mi tak punya kesempatan untuk kabur ke mana-mana selain ke pelukan laki-laki itu.

Sementara ia sendiri kelewat menikmati pelukannya.

Sekarang Jong-Woon berdiri di sana. Mengamatinya dengan senyum terbaik yang pernah Ji-Mi lihat. Kedua tangan laki-laki itu tertanam di saku jeans, sementara sepasang jelaganya hampir tidak lepas dari Ji-Mi yang masih terpaku di balkon kamar lantai dua.

Apa pastinya yang ia lakukan di sana? Bukannya naik ke kamarnya seperti yang biasa laki-laki itu lakukan, Jong-Woon malah berdiri serupa idiot sambil terus tersenyum memandangi gadis itu.

Ji-Mi hendak berteriak, menyuruh Jong-Woon naik atau malah pulang. Namun urung begitu sadar bahwa itu akan mengundang perhatian orang. Jadi gadis itu mengeluarkan ponsel, men-dial nomor laki-laki itu. Ji-Mi bisa melihat saat Jong-Woon mengeluarkan ponsel dari saku jaket denimnya.

"Kalau kusuruh pulang, kau bakal pulang?" Itu sapaan Ji-Mi begitu sambungan teleponnya diangkat. 

"Tidak rindu padaku memangnya?"

Ji-Mi lebih dari yakin ia tidak menyimpan apa-apa dalam mulutnya, tetapi kenapa rasanya ia tersendak?

Perlu beberapa detik bagi Ji-Mi untuk memulihkan detak jantungnya yang mendadak heboh. "Apa yang kaulakukan di sana?"

"Tidak boleh memangnya?"

Ji-Mi tahu harusnya ia terbiasa dengan pertanyaan yang dibalas pertanyaan dalam obrolan mereka. Dialog abnormal dan hal lain yang juga tidak kalah abnormalnya, menjadi salah satu alasan kenapa ia tidak pernah mampu untuk berpaling dari perasaannya pada Jong-Woon. Abnormal, tapi kenapa memangnya, kalau karena itu ia bisa bahagia? Ji-Mi tahu harusnya ia terbiasa, tapi kesabarannya kadang ada batasnya.

"Pulang sana, Kim Jong-Woon."

"Aku tidak akan pulang. Aku memandangimu. Sekarang jawab aku. Tidak rindu padaku, Jung Ji-Mi?"

Sialan. Kenapa Ji-Mi merasa kesulitan meraup udara? Di bawah sana, kenapa pula senyum laki-laki itu tampak bersinar-sinar, diterpa hangat mentari pagi yang memperparah keadaan jantungnya?

Geming menguasai Ji-Mi. Ia merasa bahagia hampir membakar wajahnya. "Bukan begitu caranya kalau merindukan seseorang, Berengsek."

"Oh, kau sedang menggodaku? Jadi aku harus naik dan .... menciummu habis-habisan?"

Udara. Ji-Mi tahu ia butuh udara. Namun kerongkongannya serasa terimpit dan ia tersendak. Benar-benar tersendak hingga batuk, mengundang tawa mengejek dari si berengsek di halaman depan rumahnya.

Namun bukan Ji-Mi namanya kalau ia tak mampu memasang kembali wajah normal dalam kecepatan cahaya.

Ji-Mi meraih pot kecil di dekat kakinya. "Naik sebelum kulempar pot kaktus di tanganku ini, Berengsek."

Jong-Woon tergelak, benar-benar puas menggodanya, sementara Ji-Mi hanya bisa mengeratkan pegangan pada pot putih di tangan kanan. Meski telah sekian lama, Ji-Mi masih saja sulit menemukan waras dalam otak tiap kali tawa itu mengalun di telinga.

Kalau laki-laki itu sudah sampai di depan pintu kamarnya, Ji-Mi ingin bertanya;

Hei, Berengsek, kalau kau jadi aku, akankah kau berpikir untuk kabur dari perasaanmu, dan berhenti mencintai laki-laki bernama Kim Jong-Woon?

Namun belum sempat Ji-Mi bertanya, ia benar-benar seolah bisa menebak apa yang akan Jong-Woon ucapkan. Seolah jawaban itu datang ke otaknya dengan delusi tawa mengejek Jong-Woon yang tetap mampu membawa waras lenyap entah ke mana, membungkam Ji-Mi saat itu juga.

"Memangnya, Jung Ji-Mi, kausanggup untuk berpikir melakukan itu?"

Pertanyaan dibalas pertanyaan. Dan Ji-Mi sadar betul, bahwa ia tidak akan pernah bisa mengalahkan kemampuan Jong-Woon yang satu itu.

.
.
.

fin.

Halo.

Kangen nggak sih kalian sama pasangan ini? Aku kangen. Makanya aku nulis ini. Semoga kalian juga gitu.

Salam dari Ji-Mi dan Jong-Woon.

Salam dari Ji-Mi dan Jong-Woon

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Love TalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang