Karena cinta adalah segalanya tentang kekhawatiran.
.
.
.
Mungkin seharusnya aku tidak datang. Aku berdiri rikuh, sebelah tanganku mengusap tangan yang lain, canggung menguasai, padahal aku sering mampir ke tempat ini, rumahnya. Orang itu malah menyambutku dengan tatapan marah; entah kenapa, membuatku ciut dan ingin kabur sekarang juga. Aku paham betul kenapa dia bereaksi seperti itu. Aku hapal segala hal tentangnya.
"Kenapa ke sini?" Dia bertanya begitu. Aku tak bisa menjawab dengan jawaban yang langsung pada poin utama.
"Kenapa kau kelihatan marah?" Laki-laki berambut separuh warna madu itu membuang muka, enggan menjawab pertanyaanku barusan.
Kuraih tangan kurusnya, dan dia beringsut, mengibaskan tanganku sedikit kasar, sampai aku merasakan tanganku tak sengaja mengenai lengan kaus belang-belang yang dia kenakan. Aku tidak tersinggung, tenang saja. Dia tahu aku, dan aku paham dia. "Aku tidak mau kau khawatir." Katanya, pelan, nyaris tak tertangkap runguku. Tepat. Jawaban Kim Jong-Woon begitu sama dengan tebakanku.
Aku memutarinya, berjalan ke belakangnya untuk memegangi kursi roda yang tengah dia duduki. Ibu Jong-Woon memerhatikan, menghela napas kasar menyaksikan sikap kekanakkan putra sulungnya. Yah, Bu. Anakmu sering bertingkah seperti ini di depanku. Aku tersenyum kecil pada ibu Jong-Woon, pamit untuk membawa anaknya ke kamar.
Sampai di kamar, aku menutup pintu; Jong-Woon masih dikuasai geming, sama-sekali tak bersuara dan rautnya tak bisa dikatakan baik.
"Aku tidak suka kau melihatku seperti ini." Jong-Woon tengadah, menatapku sedetik sebelum melempar pandangan ke sembarang arah.
Hela napas kasar keluar dari mulutku, memaksa Jong-Woon menatapku lagi. "Kau bisa berdiri?" Tanyaku, hendak mencengkeram bahunya, namun dia malah menahan kedua tanganku, menatapku seolah aku telah melakukan sebuah kesalahan. "Kenapa? Kenapa kau kekanakkan begini? Aku khawatir padamu dan itu salah?" Sebisa mungkin aku tidak menaikkan nada suara, aku tak berniat menciptakan masalah yang tak perlu di antara kami. Jadi aku kembali meraih bahunya, mencoba membantunya berdiri. Tapi lagi-lagi dia menahanku.
"Aku bisa berdiri, Jung Ji-Mi. Cuma jariku yang terluka!" Dia sedikit berteriak, tak pelak membuat kedua netraku memandangnya terkejut.
Tubuhku menjauh darinya, berdiri tegak dan menyilangkan tangan di depan dada seiring menatapnya, menantang. "Tapi jarimu retak, 'kan? Kenapa kau sok kuat sekali, Brengsek?! Ya sudah. Berdiri. Aku ingin lihat seberapa baik keadaanmu!" Tak mau kalah, aku balik meneriakinya, dan dari gelagatnya, lebih dari cukup membuatku yakin, kalau dia juga kaget dengan reaksiku tadi. Barangkali dia tidak menduga aku bakal membalasnya.
Siapa pun yang melihat interaksi kami, aku yakin mereka tidak akan percaya kalau kami ini sepasang kekasih. Aku sendiri heran kenapa kami bisa tahan satu sama lain jika melihat betapa seringnya kami beradu urat leher seperti sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Tales
FanfictionCover by @sulispark Jung Ji-Mi mencintai Kim Jong-Woon tapi enggan mengakui; melainkan dengan jutaan kalimat penuh caci-maki. Dan Kim Jong-Woon mencintai Ji-Mi sepenuh hati, yang dia tunjukkan dengan hal-hal aneh--setengah waras dan setengah tidak...