Memories - 3

69 7 0
                                    

"Cinta tak perlu meminta maaf."

Lagi-lagi gadis itu mengucapkan kalimat yang sama. Di tangannya, sebuah buku berwarna ungu lembut dengan tajuk Kisah Cinta, terbuka begitu saja. Itu adalah salah satu novel favoritnya, aku tahu ia sudah habis melahapnya lebih daripada jumlah jemari tangan.

"Yeah. Love means never having to say you're sorry. Kenapa kau tidak bosan membaca itu?" Tanyaku, tak tahan juga ingin melepas apa yang bercokol di kepala, entah sejak kapan. Aku bahkan takjub bisa mengingat kalimat yang Ji-Mi gandrungi dari novel itu dalam versi bahasa Inggris; barangkali saking seringnya aku melihat sampul buku itu saat Ji-Mi membacanya di sekitarku.

Ia memandangku. Mata cokelatnya menuntun impuls yang mamaksaku mengalihkan pandang; ke mana pun, asal bukan ke sana. Sepasang mata itu begitu cantik hingga aku tak mampu berlama-lama beradu pandang dengannya.

Sore itu hujan, bunyinya mengetuk-ngetuk kaca jendela bus yang membawa kami pulang. Gadisku memandang ke luar, pada hujan dan kemuramannya di sepanjang jalan, pada pantulan wajahku yang sedikit tampak di kaca; secara kebetulan aku menyadari kalau ia tersenyum kepadaku di sana. Oh, tidak. Di luar hujan dan aku malah merasa pipiku panas.

"Kenapa kau mencintaiku?" Ia bertanya, setelah sepenuhnya menaruh seluruh perhatiannya kepadaku.

Aku balik memandangnya, kedua alisku bertaut, tak menyana ia bakal menanyakan hal demikian. "Nah, pertanyaan macam apa itu?"

"Nah. Maka begitu juga aku," ujarnya disisipi senyum lembut.

"Apa?" Aku tidak mengerti.

"Sama seperti aku membaca puluhan kali buku ini. Tidak ada alasan."

Jujur saja, kadang aku ingin membenturkan kepalaku saat gadis di sampingku mulai mengatakan hal-hal semacam itu. Otakku tidak secerdas miliknya, aku tahu, aku kadang tak mampu mengimbangi cara berpikirnya. "Oke. Maksudnya, Jung Ji-Mi? Aku cuma bertanya kenapa kau suka sekali membaca buku itu, oke? Kenapa obrolan kita malah makin rumit?"

Dia tertawa. Dan napasku tertahan untuk sesaat, begitu saja. Bahaya. Jung Ji-Mi dan tawanya adalah perpaduan yang tidak seharusnya hadir di saat hujan; mereka terlalu memporak-porandakan definisi kata 'indah' di kamus bahasa manapun di dunia.

"Apa kau mencintaiku, Kim Jong-Woon?"

"Haruskah kau bertanya?"

"Kenapa?" Dia balik bertanya. Ini makin rumit.

"Kenapa aku harus punya alasan untuk mencintaimu?" Hujan makin deras, deru mesin bus turut berkonspirasi, membuat nada suaraku sedikit naik.

"Nah. Kau paham sekarang?"

Aku tertegun. Ia diam; menikmati kebingunganku. Aku diam; masih berpikir, otak sialanku membeku.

Kemudian tawanya kembali mengalun, perlahan membentuk senyum. "Aku membacanya berulang kali karena aku ingin. Aku membacanya karena aku menyukainya. Kenapa aku menyukainya? Sebab seperti itulah cinta. Tidak butuh alasan."

Harusnya aku tahu. Bahwa ia selalu punya jawaban mengesankan. Bahwa ia selalu berhasil menang telak dalam hal ini; membuatku berpikir keras, membuatku merasa bodoh, membuatku... merasa menjadi manusia paling beruntung bisa mencintai dan dicintainya.

Benar. Aku mencintainya karena aku ingin. Aku mencintainya karena aku menyukainya. Kenapa aku menyukainya? Buntu. Pertanyaan berhenti sampai di situ. Karena aku ingin. Dan kembali ke pertanyaan selanjutnya.

Love TalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang