"Did you pay your iced lemon tea?"
"I did it, Preppie."
.
.
."Jenny menyukai Oliver sejak awal. Buktinya dia setuju diajak minum kopi oleh Oliver. Nah, di antara kita, siapa yang menyukai siapa lebih dulu?"
Oh. Topik ini lagi. Aku mendesah kasar. Memilih tidak mengacuhkan Ji-Mi sambil menyesap iced cappuccino dalam gelasku, menjilat busa yang tertinggal di atas bibirku kemudian. Lalu tanganku kembali gencar menggulir layar ponsel.
"Ya, Oliver Barrett III." aku merespons tanpa minat, kutebak membuat Ji-Mi mendelik padaku.
"IV, Bodoh. III itu buat si Oliver tua, ayah Oliver IV."
"Oh, ya. Tentu."
"Dengar, Jong."
"Apa?"
Benar, 'kan. Kulihat dia mendelik, saat kualihkan pandanganku padanya sedetik. Di rooftop kafeku, kami sedang menghabiskan waktu. Matahari cukup terik hingga minuman kami berdua mengandung es. Gelas pertama Ji-Mi sudah tandas, gelas keduanya masih cukup penuh, minumanku masih sisa setengah. Gadis itu mampir ke sini setelah membeli beruang putih besar untuk hadiah ulang tahun sepupunya di Jinan.
Kalau aku mendengar topik ini pada saat aku mengobrol dengan orang lain, aku mungkin akan berpura-pura tertarik; berusaha sekeras mungkin agar aku cukup diperhatikan, berpengetahuan, kelihatan cerdas, berusaha agar orang lain mau mengobrol denganku. Tapi yang kuhadapi ini Ji-Mi, gadis yang bisa aku tunjukkan padanya segala kekuranganku, tanpa khawatir mengenai tanggapannya.
"Kalau aku jadi Wendy dan harus pergi, kau akan tetap menemani Tinkerbell?"
Alisku bertaut heran, "Jadi topik kita berubah ke penghuni Neverland? Kurasa tadi kita membahas penghuni New York." Aku memutuskan meletakkan ponsel yang sedari tadi lebih menarik perhatianku, bukan bermaksud mengabaikan Ji-Mi. Hanya saja, kadang, topik yang dia bicarakan selalu berputar pada hal yang sama; novelnya, analisisnya mengenai dialog atau adegan dalam dongeng, film, dan... novel. Itu semua tidak mudah untuk otakku cerna. Hei, maksudku, aku menyukai seni dan film. Sedikit banyak novel yang dia bicarakan sudah diadaptasi menjadi film; aku sudah khatam menontonnya. Tapi aku tidak berminat menyangkut-pautkan itu semua ke kehidupan nyata. Kadang aku sebal memikirkan kenapa Ji-Mi harus lulus sebagai anak sastra. Inggris pula. Aku sudah cukup dirundung rekan grup gilaku di acara variety kami, aku tidak punya niat untuk dirundung kekasihku sendiri karena ketidakmampuanku membandingi topik obrolannya. Oke, meski aku akui itu cukup sering terjadi.
Aku menyesap minumanku sekali lagi, menyusur asal rambutku sebelum memerhatikan Ji-Mi yang hari ini tampak nyaman dalam gaya busana biasanya; kaus santai, topi yang dia ambil dari lemariku entah kapan, juga jeans yang tidak terlalu ketat. Hari ini dia tidak memaksakan diri memakai blus atau gaun musim panas. Dia memakai itu hanya saat berkunjung ke rumahku; kamuflase untuk menyenangkan calon mertua, katanya. Maksudnya, supaya ayah dan ibuku bisa sedikit bernapas lega karena mengetahui calon menantu mereka cukup... perempuan. Yah. Begitu.
"Dengar," aku memulai, seiring pandanganku memaku sempurna padanya; menilai tiap ekspresi Ji-Mi, dan, ya Tuhan, bolehkan kukatakan kalau Kau terlalu banyak menambahkan kadar kecantikan pada gadis ini saat proses penciptaannya? "aku punya beberapa Tinkerbell di kehidupanku," dia menyandarkan punggung pada kursi, mendengarkan dengan baik. "Tapi Wendy dalam kehidupanku--kau, tidak akan pergi ke mana-mana. Jadi untuk apa aku harus memilih antara Wendy dan Tinkerbell, kalau Wendy-ku masih ada di sisiku dan Tinkerbell punya Peter Pan mereka sendiri di luar sana?"
Dia kelihatan gelisah. Matanya bergerak ke mana-mana selain padaku; pipinya menyemu merah, dan aku tahu dia tidak suka aku menyadari itu. Jadi dia buru-buru mengambil minumannya, menyesapnya sama tergesa, aku khawatir dia--
Dia tersendak. Aku mengulum bibirku.
"Brengsek," makinya, menghunusku dengan tatapan tajam, sementara aku menahan tawaku untuk tidak menyembur keluar. Jung Ji-Mi masih terbatuk dan dia memukul-mukul dadanya, aku membantunya menepuk-nepuk punggungnya. Tapi sepertinya Ji-Mi malah semakin tidak nyaman dengan apa yang aku lakukan. "menjauh, Brengsek. Aku masih saja tidak terbiasa dengan mulut sialanmu itu."
Hei, apa aku sudah pernah bilang kalau salah satu kegiatan favoritku itu membuat Ji-Mi memaki sejadi-jadinya? Hari ini aku beruntung dia memaki di sini, hanya ada kami berdua yang bisa mendengar makiannya. Aku tidak perlu berusaha menutupi mulutnya dengan tanganku seperti biasa saat dia mulai menyerangku dengan umpatannya di tempat ramai. Hanya berusaha menghindari orang-orang mengira kami sedang bertengkar hebat. Tapi, ini gila, biar kukatakan. Aku menyukai bagaimana Ji-Mi menyumpah; dia menyumpah dengan cara yang elegan, dan berkelas. Nada suaranya lembut, seakan dia menyematkan kata sayang dalam tiap sumpahan itu. Dan aku, menyukainya.
Reaksiku hanya satu, selalu sama setiap waktu; tertawa senang sampai mataku tak bisa melihat wajah Ji-Mi, terbahak-bahak sampai dia memukul bahuku keras, dan aku berkata, "Hei, aku ini aneh, ya? Kenapa aku selalu jatuh cinta padamu tiap kali kau selesai menyumpahiku?"
"Kau memang aneh, Brengsek," dia tersenyum. Ekspresi yang seharusnya dia tunjukkan saat menyebutku tampan.
Aku tersenyum, "Oke. Cukup sampai di sana. Kau terlalu banyak menyumpah hari ini."
"Oke. Akan kulakukan, Brengsek."
"Kubilang, cukup."
"Oke, Jong."
"Oke. Habiskan minumanmu."
"Setelah ini aku pulang."
"Sudah bayar, 'kan?" Kulirik minumannya. Iced lemon tea, salah satu favoritnya. Keik cokelatnya milikku, sebelum aku sadar kini cuma tersisa piringnya saja, gadis itu pasti menghabiskannya saat aku sibuk main ponsel.
"Sudah, Brengsek."
Aku mendengus. Melepaskan topi dari kepalanya, kemudian kuacak rambut gadisku yang hari ini tidak diikat asal, hingga dia memejam matanya kesal. Aku tertawa, lagi. "Bagus. Sering-seringlah begitu. Supaya aku tidak bankrut."
"Kurasa aku harus pesan beberapa cup iced caramel macchiato. Tapi uangku ketinggalan di rumah."
"Oke. Cukup."
"Oke."
⭐☁⭐
Sudah lama aku tidak menulis sesuatu yang seperti ini untuk couple gesrekku. Hmm.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Tales
FanfictionCover by @sulispark Jung Ji-Mi mencintai Kim Jong-Woon tapi enggan mengakui; melainkan dengan jutaan kalimat penuh caci-maki. Dan Kim Jong-Woon mencintai Ji-Mi sepenuh hati, yang dia tunjukkan dengan hal-hal aneh--setengah waras dan setengah tidak...