6. THE TRAGEDY (Part 2)

39 8 8
                                    

Aneh.

Dari masuk kelas sampai waktu pelajaran tengah berlangsung kemudian menit awal istirahat kedua berbunyi, sebelum pulang sekolah. Semua penghuni selalu memandang sinis ke arah satu gadis berambut panjang yang bagian ujung agak ikal.

Anastasia Lyna. Sebenarnya  ingin mengutarakan kalimat tanya, tapi memilih diam. Membungkam mulut. Sebab, entah kenapa firasat mengatakan bahwa sebaiknya jangan melakukan apapun yang memancing perhatian orang-orang. Ada secuil perasaan juga naluri dalam hati berkata jikalau keadaan ini tidaklah beres. Terlalu tenang namun menusuk.

Tetap duduk di kursi panjang depan kelas, Ana memandang lurus kearah depan.

Tersentak. Menoleh kesamping, satu orang perempuan berkacamata dengan tubuh kurus menepuk bahu agak keras. Devina namanya. "Tolong gue An, temen-temen kelas pada ngejauhin dan sinis sama gue," katanya dengan nada suara juga ekspresi yang sangat jelas jika dibuat-buat.

Anastasia melotot, sementara Devina menyeringai.

Jadi feeling-nya Ana tadi benar. Seluruh teman sekelas bersekongkol untuk membully tokoh utama kita saat ini juga.

Gerakan cepat si gadis pendiam saat hendak kabur terhenti mendadak. Dia tidak berani menoleh, keringat dingin mengalir di pelipis  seolah menjadi tahanan yang akan di eksekusi pihak berwajib.

"Mau kemana lo, cupu?! We have to talk for a moments. Isn't guys?" Cengkraman tangan begitu menyakitkan, hingga kuku tajam itu menusuk kulit Ana.   Pelakunya tak lain adalah Marthina. Ia terkekeh menyeramkan.

Si penyuka warna hitam ditarik paksa oleh Marthina menuju ruangan kelas, teman-teman yang lain hanya melihat dan mencemooh Ana karena berani berurusan dengan sosok bagai ratu kelas.

***

Anastasia mengerti sekarang, bahwa melawan hanya akan memperburuk kondisi. Didalam dunia yang menang adalah antagonis, bukan protagonis lemah sepertinya. Hatinya seakan terkoyak bersamaan dengan tepung terigu yang dilempar kasar kearah wajah, beberapa telur ayam juga menubruk kepala. Meninggalkan cairan bening berbau amis.

Gadis aneh semacam Ana sendiri sebetulnya hanya patut berdiam tanpa komentar. Dimata para teman sekelas, Ana sekarang hanya sosok hina. Berlagak berani, namun ketika di gertak ciut juga nyali. Aura busuk negatif seolah menyebar pada tubuhnya. Kini, bahkan gadis itu yang disuruh membereskan segala kekacauan. Tanpa istirahat barang sejenak.

Terngiang-ngiang ditelinga tadi Marthina berkata padanya, "Ini belum selesai, siapapun yang dekat dengan lo juga kena imbasnya. Contoh, temen lo satu-satunya itu. Yah, dia juga cupu sih. Jadi pantas."

***

"Rhea, ya ampun. Kok lo bisa gini sih?" Pulang sekolah, Anastasia terkejut menatap Rhea yang terduduk di belakang gedung serba guna SMK Gardenia. Kacamata sahabatnya tergelatak beberapa meter. Sudah patah, sedangkan gadis itu sendiri tengah mencari-cari sembarang menggunakan telapak tangan karena buram tak bisa melihat. Baju seragamnya pun sudah kotor kena tanah.

"Anastasia, ya? Bantuin gue plis, kacamata gue ilang bekas di lempar geng Marthina." Suara lembut Rhea bergetar hendak menangis.

Anastasia menggigit bibir tanda tertekan. Meraih tangan putih lawan bicaranya. "Maafin ya Rhea, mereka bully lo mungkin gara-gara gue. Semua salah gue yang nekat nyari masalah sama Marthina. Gue gak tahu bakal runyam seperti ini."
Ia berjalan mengambil kacamata Rhea, menyerahkannya. "Kacamata lo udah patah. Kita mending beli yang baru aja. Gue temenin."

Terlihat Rhea menatap kacamata ditangan dengan sorot mata seakan hendak redup. Gadis berambut pendek, namun memiliki poni tersenyum tipis. "Iya gapapa An. Ini bukan salah lo, tapi mereka yang kekanak-kanakan. Gue ga masalah, asal kita hadapin ini bareng-bareng."
"Janji sama gue ya An, jangan percaya dan gak usah perduli sama orang lain. Sampai kita lulus dari sini."

"Iya Rhea, gue juga nyesel nyeritain gimana kesalnya gue sama Marthina ke Ara kemaren. Dia tukang ngadu soalnya." Mereka berdua berdiri setelah menautkan jari kelingking tanda perjanjian.

Rhea menepuk rok nya yang berdebu pelan. Berjalan mendahului Ana lalu memalingkan muka. "Ayo, kita ke toko kacamata." Tangannya melambai, mengajak serta sang sahabat karib.

***

Tertanda,

Author Evanaa88.

ANASTASIA LYNA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang