"Kursi nya udah ditata kan? Besok sekolah kedatangan tamu penting. Jangan sampai malu-maluin." Pak Salman, guru matematika berkumis tebal mengingatkan lagi, dia mau semua berjalan lancar tanpa hambatan.
Lelaki berseragam sekolah dengan lambang OSIS pada bahu kiri mengangguk pasti, mengucapkan kalimat singkat lalu pamit undur diri dari ruang wakil kepala sekolah. Menutup pintu pelan. Menghela nafas lelah, hari yang berat. Tepat pukul enam sore dia pulang, jelas lebih larut dari siswa biasa.
Sudah sampai di koridor untuk mengambil tas yang terletak dikelas. Sosok lain bertubuh jangkung menghampiri, teman sekelasnya. Sedang nyengir lebar. "Capek ya? Namanya juga ketua OSIS. Makan-makan yuk, bareng yang lain. Ada restoran baru buka."
"Enggak dulu. Gue udah kenyang." Raut wajah lawan bicaranya mendadak kusut. Si jangkung mendengus.
"Lah, gak asik lo! Nyesel gue ngajakin." Usai mengucapkan kalimat ketus, si tak tahu diri melenggang pergi. Sang ketua hanya tersenyum lirih, beginilah dirinya. Dijadikan pesuruh, dimanfaatkan manusia sekitar. Kalaupun tadi ikut serta, pasti dipaksa membayar semua dengan berbagai alasan diluar logika. Hingga kartunya sempat limit, seolah menjerit.
"Miris. Gue kira dulu dapat posisi ini bisa dihormati. Ternyata enggak," gumamnya lirih. Berharap tak ada yang mendengar.
Kembali berjalan, baru tiga langkah. Tertegun mendapati suara perempuan dibelakangnya.
"Oh, ini yang dulu sok nasehatin gue? Si babu sekolah berkedok ketua OSIS, Gabriel Anderson?"
Berbalik, Gabriel ingat dan mengerti sekarang. Perempuan bermata sayu ini mungkin hendak membalas dendam atas kalimatnya dulu.
Anastasia mengulum bibir, menahan tawa.
"Gak ada yang lucu. Lo lebih parah dari gue." Kening si pemilik iris coklat bertautan.
"Benar kok. Gue pengecut sama bosenin, cupu. Untung aja yang sering ngejek gue orangnya bisa beli jajan sendiri. Kalau enggak, berabe." Sedetik kemudian, penyuka warna hitam-putih terbahak-bahak.
Ah, sepertinya sakit sekali. "Kali ini gue ngerti perasaan lo, An."
Anastasia melirik kearah lapangan. Menggoyang lengan ke belakang berkali-kali. "Sesama manusia yang nasibnya miris emang harus memahami, sih." Fokus lagi ke depan. Memiringkan kepala, menatap penuh tanya. "Cuman, lo kurang kerjaan apa gimana? Padahal setahu gue ketos punya banyak wewenang."
"Oh itu, nanti gue jelasin. Temenin ke kelas dulu ya." Gabriel menarik lengan Anastasia, dengan cepat menggenggam tangannya.
Gadis itu terlihat kaget, ingin melepaskan tapi tidak bisa. Malah dirinya yang terseret-seret. "Ngapain ini?! Gue ga mau nyebrang, gausah di gandeng."
Tidak perduli, Gabriel seolah tuli. Diam-diam tersenyum manis tanpa sadar.
***
Insan berbeda gender duduk pada kursi panjang berwarna merah. Beberapa bagian telah mengelupas, semilir angin sepoi-sepoi menemani. Tepat disamping gedung seni budaya memang teduh dengan pohon-pohon menjulang di beberapa sisi."Katanya kenyang, kok makan Soto Banjar nya lahap banget?"
Suapan terakhir diambil, lalu mengunyah di mulut. Tidak sia-sia rupanya membeli makanan di sebrang jalan melewati antrian panjang. Gabriel mengangkat wajah. "Lo denger juga soal itu?" Anastasia mengangguk lugu. "Gue kadang butuh jeda dari mereka, supaya tetap waras. Gue ngelakuin semua ini bukan gimana-gimana, ada sebabnya."
Anastasia meminum Thai tea rasa original nya, lanjut memangku dagu dengan satu tangan. Perbincangan ini semakin menarik saja. "Sorry, gue lagi kepo. Jadi, boleh tahu gak?"
"Singkatnya, enggak Bokap atau Nyokap itu nuntut gue di posisi ketua OSIS. Biar seolah-olah pemimpin nomor satu. Karakteristik gue pun harus dituntut sempurna. Baik, punya banyak temen, pinter, jadi panutan." Dada Gabriel seolah ditimpa batu besar menjadi penghalang untuk bangkit dan berjalan menuju impian sendiri. Miris, yang memberi beban malah orang tersayang.
Gadis yang memiliki case handphone bertema anime vampire menghela nafas, selalu-selalu saja dunia begitu menyebalkan. Kehidupan punya sisi gelap dan terang untuk setiap manusia. "Lo tahu? Katanya kasih sayang orang tua ga bersyarat. Semenjak denger cerita orang-orang sama liat-liat di medsos, gue sadar. Ga semua seperti itu. Beberapa rasa sayang lebih besar, ternyata justru dimiliki Anaknya."
Hari ini Anastasia cerewet sekali, padahal jikalau didepan teman sekelas cenderung pasif. Menjawab ala kadar jika ditanya.
"Contoh, elo. Biarpun tertekan gini masih bisa jalanin posisi penuh tanggung jawab, padahal dari dalam hati sendiri ga ingin. Semuanya demi Bokap-Nyokap, rasa bangga mereka gue kira lebih berarti dibanding kenyamanan lo, iya kan?"Gabriel terenyuh sesaat, menatap hangat gadis berkulit putih pucat didepannya. "Bener, seenggaknya masih ada yang bikin gue berarti dihati mereka."
"Iya, gue ... ga bisa bantu apa-apa buat ini, sih. Cuman, kalau capek usahain jangan nyerah. Bertahan demi hal-hal kecil kayak enaknya Soto Banjar hari ini." Mendengarnya, tangan tunggal Anderson terulur. Bukan mengusap kepala, tapi malah menepuk keras lengan Anastasia hingga memekik. "Heh, kenapa-"
"Bener juga. Kadang gue iri sama lo yang masih punya nasehat padahal sama-sama lagi susah."
Salah tingkah. Si pegawai toko roti menggaruk pipi, gerakannya jadi kaku. "Wah, lo bisa aja!"
Gabriel terdiam, dia teringat sesuatu. Berdiri sembari merogoh kantong jaket, mengambil kunci motor dan mangkok Soto nya yang kosong. "Ah, gue mau pulang dulu. Istirahat, capek. Lo mau gue anterin? Udah hampir sore gini."
Menggelengkan kepala, lalu tersenyum manis. "Enggak, gue sambil nunggu Kakak jemput ini. Paling bentar."
Setelah bertanya meyakinkan sekali lagi, akhirnya Gabriel mengangguk pasrah. Pamit lalu meninggalkan Anastasia.
Lima menit hanya ada keheningan, introvert parah ini menoleh terkejut. Rhea sang teman satu-satunya datang. Duduk disamping kanan. Kening tipis itu bertautan. "Ngapain disini? Udah lama?"
"Iya nih, bosen juga main hape mulu. Nunggu Kakak, kayak ngarepin husbu jadi nyata." Wajah itu menekuk.
"Oh gue kira tadi ada temen. Botol minumnya dua soalnya tuh."
Anastasia melebarkan mata sedetik, jangan sampai ada yang tahu bahwa dia bicara dengan Ketua OSIS. Termasuk Rhea sekalipun. "Eng-enggak kok. Paling bekas orang sebelum gue dateng kesini."
Dan si gadis berkacamata hanya mengangguk-angguk sambil membulatkan mulut.
***
Catatan:
"Gimana ya rasanya jadi Anastasia? Deket sama tiga orang cowok ganteng sekaligus."Tertanda,
Author Evanaa88.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANASTASIA LYNA (END)
Romantizm"Hindari masalah dan cobalah pasrah. Tutup mata, tutup telinga." Dua kalimat yang selalu tertanam dalam pikiran. Dia, Anastasia Lyna. Korban bullying yang tak mampu melawan. Baginya semesta itu rumit, apalagi setelah muncul sosok tiga orang lelaki...