Suara khas jam menghiasi sepinya keadaan sekitar. Tiap-tiap angka yang bertambah seolah melambat seratus kali dari biasa.
Satu detik seolah satu abad saja.
Dua laki-laki muda yang bersebrangan bangku menghembuskan nafas panjang nyaris bersamaan. Kegelisahan keluar membuncah, menjadikan aura hitam suram mengelilingi.
Bobby mengigit jari, menerawang dengan tatapan nanar ke arah kanan. Sedangkan Arka si lelaki eksotik mengetuk-ngetuk ujung sepatu kelantai sembari menunduk.
Ah, hampir lupa. Tepat di kanan-kiri mereka, berdiri tak kurang dari tiga orang bodyguard dengan tampang sangar dan berotot. Bahkan didepan lorong sana juga ada. Melempar tatapan permusuhan antara dua belah pihak.
Ya, anggota Black gangster maupun Evil Gangster masih menyimpan dendam lama. Dua organisasi rahasia itu takkan pernah bersatu.
Ketukan tegas sepatu membuat semua orang di lorong berwarna didominasi putih itu menoleh. Ada yang datang.
Sedikit terperangah, meskipun masih dengan raut tenang Bobby sekilas menatap pria seumurannya yang beraura arogan.
Xamza Mikhail Firelansio. Orang yang bahkan dia sendiri sedikit enggan untuk mencari masalah. Itu sebabnya tadi para bodyguard pun menyingkir, mempersilahkan jalan.
Xamza menepuk pundak Arka. Sorotnya terlihat datar, namun ingin menguatkan sang sahabat juga. "Come on dude, just calm down. She will fine."
Menggeleng frustasi, Arka tetap keras kepala menumpuk pemikiran buruk. "No way! Lo gak paham, Xam. Cause you'll never lose your girlfriend. "
Mendengarnya Xamza langsung terkekeh.
"Yeah right, tapi dulu gue pernah kehilangan saudara. Don't you forget it," sahut lelaki berpakaian serba hitam itu. Bobby yang berada di seberang mengernyit sesaat, tapi memilih tak perduli. Bukan urusannya juga.
Si blasteran eropa-asia melirik pintu UGD rumah sakit yang tertutup rapat. Tadi jam sembilan malam, dia mendapat telpon penuh suara resah Arka. "Lo-kita emang ga pernah tahu nasib manusia. Semua orang itu rapuh, bisa mati kapan aja walau gak di matiin sekalipun. Termasuk gebetan lo itu."
Sang sahabat mendongak, menatap Tuan muda Firelansio sedikit tak suka karena membawa-bawa Anastasia. Tapi, pria yang dikenal orang terdekat sebagai manipulatif itu menyambung kalimat, "Jadi selama kekeh buat penuhin keinginan. Contoh nya ngikat satu cewek yang lo suka selamanya, gak perduli apapun. Mumpung dia masih hidup. Lo harus berhasil singkirin saingan lain."
Bobby meringis dalam hati. Sudah jelas Xam akan mendukung bahkan mengompori Arka.
Namun Bobby tahu, bahwa sosok berbahaya itu takkan mau terlalu jauh ikut campur. Paling-paling, hanya menonton santai walau misalnya dia berduel langsung satu lawan satu dengan si kapten basket.
Bukan karena takut, tapi memang tabiat psikopat begitu. Tak sudi membantu jika tidak ada manfaat. Manipulatif, penuh tipu daya, dan suka menjadikan orang lain inangnya.
Dan detik berikutnya penglihatan mereka kembali terfokus pada dokter lelaki dengan jas putihnya yang khas juga lengkap masker medis menutupi hidung. Beliau baru keluar dari pintu UGD.
Tiga orang kelewat tampan tadi langsung menghampiri. Menyerbu ingin bertanya.
***
"Ma-mah ..." suara lirih tanpa tenaga mengejutkan mereka. Gadis itu sudah bangun seusai tak sadarkan diri akibat tertusuk senjata tajam sore tadi.
Operasinya berhasil, luka telah dijahit rapi. Tapi tentu saja kecemasan mereka tidak berhenti sampai sana.
Sosok yang di panggil 'Mamah' langsung menggenggam erat tangan anak bungsu nya. Menguatkan secara mental. Ia sudah tahu apa yang terjadi bukanlah sebuah kesengajaan dari masing-masing pihak.
Kesimpulannya, dengan segenap hati dia memaafkan dua remaja lelaki yang tertunduk lesu tadi.
"Iya Nak? Mama disini. Kamu ingin apa?" Hana menatap mata sendu putrinya. Rasanya ingin menangis saja tapi ia harus kuat.
"Luka di perut aku udah-" Belum sempat menyelesaikan kalimat, sosok lelaki berbadan tinggi tegap serta jambang tipis lantas masuk ke ruangan tergesa-gesa.
Dia, Kakak Anastasia panik dan marah juga.
"Ana! Kamu udah baikan Dek? Bilang sama Kakak siapa yang nyakitin kamu sampai begini?!"
Hana menenangkan anak sulungnya. "Sabar kamu Randy! Ini rumah sakit, ga enak sama orang lain."
Tanpa peduli akan pernyataan Ibunya, Randy langsung menatap tajam ketiga remaja asing yang juga ada di sana. "Diantara kalian bertiga siapa yang buat adek saya gini?"
"Saya Kak. Saya yang gak sengaja nusuk Ana pas berantem sama Arka." Bobby yang pertama mengaku, raut itu tak takut sedikit pun. Hanya penyesalan meliputi, karena telah menyakiti pujaan hati sendiri.
Arka menghela nafas, untuk pertama kalinya dia resah. Xamza yang berada tepat di belakang, bersedekap dada melayangkan raut penasaran dengan apa yang dikatakan sahabat karibnya. "Iya Kak, gara-gara kami berdua Anastasia jadi korban, tapi kita janji bakal tanggung jawab sepenuhnya."
Bukannya melunak, tatapan datar Randy malah makin kuat. "Ada beberapa hal yang harus kalian mengerti. Pertama, saya bukan seperti Ibu Hana yang bersikap lembut. Lalu mengikhlaskan segalanya."
Ah, diam-diam Xamza tersenyum miring. Tak disadari semua orang kecuali Anastasia yang langsung bergidik ngeri.
Pria itu seolah menebak-nebak alur seperti apa yang terjadi. Atau memang benar?
"Kak, jangan. Mereka gak maksud nyelakain aku!" Kali ini Anastasia yang bersuara. Randy sedikit melirik dengan alis terangkat sebelah.
"Diam An," peringatnya dengan sangat jelas. Telunjuk itu perlahan mengarah pada Arka dan Bobby. "Kalian lebih baik untuk sementara jauh-jauh dari Adek saya."
***
Catatan:
Hayo loh, konflik makin berat. Hati-hati, harus kuat selama baca nya.Tertanda,
Author Evanaa88.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANASTASIA LYNA (END)
Roman d'amour"Hindari masalah dan cobalah pasrah. Tutup mata, tutup telinga." Dua kalimat yang selalu tertanam dalam pikiran. Dia, Anastasia Lyna. Korban bullying yang tak mampu melawan. Baginya semesta itu rumit, apalagi setelah muncul sosok tiga orang lelaki...