Setelah Ragafa dimasukkan ke ruang kemoterapi, Fidya pun duduk sejenak untuk menenangkan pikirannya. Ia tidak memberitahu Ragafa bahwa ia sudah menerima syarat yang diajukan Alisya. Ia hanya mengatakan pada laki-laki itu bahwa papanya suka rela membiayai kemoterapinya.
Otak Fidya berkeliaran ke mana-mana. Ia masih bingung harus memberikan alasan apa pada Safa. Ia akan memutuskan pertungannya secara sepihak. Calon besannya itu sudah pasti tidak akan terima.
Safa pasti akan memakinya. Namun, kalau sampai itu benar terjadi, Fidya ikhlas. Ia akan menerima makiannya dengan lapang dada. Ia tidak peduli hatinya akan sehancur apa, yang penting Ragafa—putranya—harus baik-baik saja.
“Aku harus menemui Jeng Safa sekarang.”
Fidya bangkit dan mengaleng tas kecil di sampingnya. Sebelum angkat kaki dari rumah sakit. Ia kembali memusatkan korneanya pada ruangan tempat laki-laki itu memperjuangkan hidup dan matinya. Ia mengulas seringai tipis. Ia harap, setelah ini, masalah tidak akan hadir lagi dalam kehidupan putranya.
“Apa pun respon Jeng Safa nanti, Mama terima, Sayang.” ucap pelan Fidya. “Semoga, ini penderitaan terakhir kamu, ya,”
***
“Nda!” panggil Yorala dari kamar mandi, Safa yang tengah membaca majalah pun, refleks menoleh. “Yora lupa bawa handuk, Nda!”
“Aduh, ada-ada aja kamu ini!” Safa menghela napas, lalu menyimpan majalahnya. “Yas!” panggilnya.
“Iya, Bun?” teriak Yasada dari kamar kandi atas.
“Ambilin handuk Yora sana! Mama lagi mager, nih!” titah Safa berteriak.
“Nda ... Udahlah, Yasa juga lagi berak, nih!” ungkap Yasada. “Biarin aja tuh anak terus di kamar mandi! Kalo perlu, suruh dia molor di sana, Nda!”
“NDAAA! DINGIN, NDA! YORA BISA BEKU, NIHHHH!” jerit Yorala.
Safa berdecak malas. Mau tidak mau, wanita itu pun bangkit, lalu mengambil handuk yang ada di depan kamar mandi. Ia membuka sedikit pintu itu dan memberikan handuk itu pada Yorala.
“Makasih, Nda!”
“Abang kamu itu kayaknya harus disembelih, deh.” celetuk Safa.
Yorala tertawa. “Setuju, Nda!”
Setelah pintu sudah kembali ditutup Yorala, Safa pun mulai berjalan mendekati sofa ruang tamu. Ia mengambil majalah di meja, lalu membacanya lagi.
“Nda .... Yasa denger, lho ...!”
“Ya, ‘kan, Abang punya telinga, udah pasti bakal denger, lah, Bang,”
“Nda, ih! Darah Yasa naik, nih, Nda!”
“Ya udah, nanti Nda beliin racun tikus.”
“Nda—”
Ding! Dong!
Suara bel memotong ucapan Yasada. Safa langsung mendongak ke pintu, lalu membuang napas malas. Wanita itu kembali menyimpan majalahnya di meja. Membaca majalah adalah kebahagiaan sederhananya, namun ada saja alasan yang mengharuskannya untuk tidak membaca lembaran kertas tersebut.
Hidup memang tidak lepas dari gangguan. Untuk mendapatkan kebahagiaan, perlu banyak kesabaran.
“Majalah, sabar dulu.” Safa langsung berdiri. “Nanti pasti dibaca, kok.”
Wanita itu melangkah mendekati pintu. Ia memegang gagang pintu, lalu menariknya. Pintu pun terbuka. Terlihat Fidya dengan ekspresi yang sulit diartikan, sudah berada di sana.
![](https://img.wattpad.com/cover/291094119-288-k945597.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia dalam Karya (Terbit)
Подростковая литератураAntara pura-pura dicintai dan pura-pura dibenci, manakah yang lebih menyakitkan?