PROLOG

32.4K 1.9K 109
                                    

Bocah perempuan dengan rambut sebahu itu berlarian kesana-kemari menghindari kejaran anak kecil dengan badan montok yang berlarian di belakangnya.

"Huhuhu, tatak cetop!" Napas anak laki-laki yang mengejar Ryn tadi tersengal-sengal. Dia mendudukkan bokongnya di rumput hijau yang mengelilingi halaman rumah bocah perempuan tadi.

Mendengar itu, Zareen—yang akrab dipanggil Ryn—itu menghentikan langkahnya. "Kenapa? Kamu capek, ya?" tanya Ryn sembari menyunggingkan senyum mengejek.

"Iya ...."

Balasan dari anak laki-laki tadi terdengar lemah. Hal membuat Ryn menghampiri bocah gembul yang tampak kelelahan itu. "Lemah banget jadi anak cowok," ejek Ryn sambil menjulurkan lidah.

Anak laki-laki yang baru menginjak usia tiga tahun itu tersentak mendengar ejekan yang keluar dari mulut Ryn. Ia langsung menangis, karena tak terima dibilang lemah. Padahal dia sudah mencoba mengejar Ryn sejak tadi, tetapi karena ukuran tubuhnya lebih kecil menyebabkan tubuhnya lebih cepat lelah.

"Huwaaaa!!! Nda! Tatak jahat." Suara tangisan dari bocah bernama Arzan itu membuat Ryn panik, pasalnya orang tua Arzan sedang menitipkan bocah ini di rumahnya karena mereka akan mengantar Kia, Kakak dari Arzan ke Dokter gigi.

"Eh, diam ya, jangan nangis. Nanti Mama Ryn dengar."

Anak perempuan itu mengusap punggung Arzan, agar tangisnya segera reda. Namun, sudah hampir dua menit tangisan itu tak kunjung berhenti, hal ini membuat Ryn tambah panik.

"Aduh ... jangan nangis, dong. Nanti Ryn diomelin Mama nih," kata Ryn, dia juga berusaha membujuk Arzan agar tidak menguatkan volume tangisannya.

Arzan yang masih berlinang air mata menatap Ryn yang tampak kuatir. Karena wajah cantik itu sekarang tampak panik, Arzan pun menghentikan tangisnya perlahan.

Melihat tangisan Arzan yang berangsur berhenti, Ryn pun menghentikan usapan tangannya di punggung Arzan. Ditatapnya wajah bocah laki-laki yang tampak memerah itu. Pipinya yang gembul membuat Ryn gemas ingin mencubit.

Bulu matanya yang panjang dan lebat itu makin terlihat karena terkena air mata. Hidung mancung Arzan juga ikut memerah dan hal itu membuat Ryn semakin gemas melihatnya.

"Kakak boleh cubit pipi kamu, nggak?" tanya Ryn hati-hati.

Arzan menatap Ryn dengan mata berkedip-kedip. Biasanya anak perempuan itu tak pernah izin kalau mau mencubit pipinya. Bahkan beberapa kali Arzan menangis karena pipinya menjadi sasaran empuk tangan gratil Ryn.

"Nggak boleh," sahut Arzan. Bocah itu mencoba menampilkan wajah garang, yang sayangnya malah terlihat menggemaskan di mata Ryn.

Namun, larangan seperti itu tak berarti bagi anak perempuan seperti Ryn. Dia tetap menjulurkan jari-jarinya hingga hinggap di pipi gembul Arzan.

Hal yang terjadi selanjutnya sudah bisa ditebak, Arzan menangis dengan volume suara lebih keras dari sebelumnya. Sampai Atika, Ibu dari Ryn keluar dari dapur dengan tergesa-gesa.

"Adeknya kamu apain, Nak?!"

Atika panik melihat anak tetangganya menangis dengan suara yang cukup keras, dan anak perempuannya yang berkedip-kedip tak bersalah di sebelah Arzan.

"Ya ampun ... Mama cuma ninggalin kalian sepuluh menit buat ngasih asi ke Aldo, kamu malah bikin Arzan nangis lagi." Ibu dua anak itu langsung menghampiri Arzan yang kini masih menangis.

Melihat ibunya lebih perhatian kepada bocah laki-laki yang jelas bukan anaknya sendiri, rasa iri pada diri Ryn pun muncul. Walaupun sudah ditahan sekuat mungkin, air matanya tetap mengalir juga.

"Mama nggak sayang Ryn. Mama sayang ke Arzan sama Aldo aja, huwaaaa!!!" Ryn langsung berlari masuk ke dalam rumah. Meninggalkan sang mama yang sedang berusaha menenangkan Arzan.

"Aduh ... anak itu irinya makin bertambah aja."

Atika memijat keningnya, kemudian menggendong Arzan masuk ke dalam rumah.

🧚🧚🧚

Halo!!!

Ini lapak cerita pertamaku yang aku rombak abis-abisan, huhu. Semoga suka sama prolognya, ya. Untuk bab 1 bisa langsung dibaca 👉

Kalau suka sama cerita ini, jangan lupa klik bintang di pojok kiri, ya.

Next Door Romance (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang