18. Demi Kenyamanan Hati

6.6K 628 50
                                    

Ryn:

Jangan lupa abis magrib ke rumah, ya, Zan. Pokoknya harus dateng.

Sudah berulang kali Arzan menatap handphone yang menampilkan chat terakhir dari Ryn satu jam yang lalu. Perempuan itu hampir setiap hari mengingatkan Arzan agar tidak lupa datang ke rumahnya saat hari pertunangannya dengan Damar tiba.

Namun, apakah Arzan sanggup melihat itu? Tentu tidak. Karena sekarang saja ia sudah ingin kabur, agar orang tuanya tidak heboh mengajaknya datang ke rumah Ryn.

Handphone di tangannya kembali bergetar, kali ini telepon masuk dari Adit—sahabatnya selain Bagas. Untuk hari ini Arzan akan menghabiskan waktu dengan dua sahabatnya itu, dan Adit yang bertugas menjemput Arzan karena dirinya malas membawa kendaraan sendiri.

"Lo di mana? Gue udah di depan nih."

Arzan langsung bangkit, dan mengambil dompetnya untuk diselipkan ke kantong celana. "Gue lagi turun ke bawah. Lo di mobil aja, biar gue yang nyamperin," kata Arzan sambil menutup pintu kamarnya.

Setelah mendengarkan balasan dari Adit, Arzan langsung memutus sambungan dan memasukkan handphonenya ke dalam kantong celana. Ia berjalan menuruni anak tangga dengan langkah cepat.

Saat tiba di bawah, ada sang ibu yang terlihat sedang bersiap-siap untuk pergi ke rumah sebelah, tepatnya rumah Ryn. Wanita paruh baya yang memakai gamis maroon itu tampak sumringah sekali, dan Arzan sudah tahu pasti apa alasannya.

Langkah bundanya itu langsung terhenti begitu melihat penampilan anaknya yang hanya memakai kaos hitam dan celana jeans hitam. "Kok nggak pake batik yang Bunda siapain, sih, Nak?" Matanya terus memindai penampilan sang anak yang terlihat seperti berandalan ini, outfit-nya sangat tidak cocok dibawa ke acara formal.

Menghela napas, Arzan memutuskan untuk tidak menjawab. Ia memilih menyalami tangan sang bunda yang kini heran melihat sikapnya. "Arzan mau main bareng Adit dulu, Bun," pamitnya, ia langsung balik badan dan tergesa-gesa menuju ke arah pintu.

Namun, Bunda Aminah langsung menahan tangan Arzan yang sebentar lagi mencapai pintu. "Kamu nggak lupa, kan, kalo hari ini Ryn bakal lamaran?" tanya Bunda Aminah, ingin memastikan kalau putranya itu tidak lupa kalau hari ini sahabatnya akan bertunangan.

Namun, gelengan dari Arzan membuat alis ibu dua anak itu mengerut, heran.

"Oh ... kalo itu, Arzan nggak lupa kok, Bun. Tapi Arzan memang nggak sempat, karena udah janji sama Adit duluan," kilah Arzan, ia membuat raut wajah semeyakinkan mungkin agar bundanya itu percaya.

Walaupun tampak kurang percaya, tetapi Bunda Aminah tetap mengangguk dan membiarkan anaknya pergi. Meski hatinya bertanya-tanya kenapa sikap anaknya seperti itu, tetapi Bunda Aminah tak ambil pusing. Ia membiarkan sang putra yang memakai pakaian serba hitam itu keluar dari rumah.

Arzan keluar dari rumah dengan perasaan lega, kemudian ia menghampiri mobil Adit yang terparkir tepat di depan gerbangnya.

"Lama amat lo!" seru Adit, begitu Arzan masuk ke dalam mobil.

Sementara Arzan hanya memutar bola matanya, padahal tidak sampai lima belas menit, tetapi Adit sudah mencak-mencak seperti ini.

"Jalan aja, Dit. Nunggu apa lagi, sih?" Arzan menoleh, menatap Adit yang kini menatapnya dengan tatapan kesal. "Parah banget nih orang. Gue udah rela jemput jauh-jauh malah diperlakukan kayak supir."

Arzan berdecak, kemudian membalas, "Duh, lebay amat, sih, Dit. Jalan gih cepetan, sebelum Bunda gue nyamperin."

Meskipun dalam hati ingin memaki Arzan, tetapi Adit tetap melajukan mobilnya membelah jalanan yang akan membawa mereka ke kelab milih Bagas.

Next Door Romance (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang