Persimpangan LawangKrajan - 11:33

2.7K 344 0
                                    

Mesin mobil benar- benar di uji oleh jalanan ini. Bebatuan besar membuat guncangan di mobil begitu terasa. Di tambah tanah becek dan genangan air karena hujan semalaman, membuat ban sulit mendapat traksi.

Beberapa kali Triyo dan yang lain harus turun untuk memantun mendorong mobil. Ditambah pengalaman bertahun- tahun Pak Slamet melibas jalan ini, pelan namun pasti ia bisa mengatasi hambatan- hambatan yang ada.


Mobil melewati sebuah jembatan tua dengan satu tiang beton penyangga. Di bawahnya menjulang jurang sedalam 8-10 meter. Sebuah sungai berair jernih membelah tempat itu.

Lalu jalanan menanjak tajam. Tak berapa lama mobil tiba di sebuah pertigaan dengan sebuah tugu di tengahnya. Laju mobil makin pelan seraya menepi untuk kemudian berhenti.

"Kenapa berhenti di sini, Pak Slamet?" tanya Bagus dari belakang.

Yang di jawab dengan pintu mobil yang terbuka tiba- tiba. Ajeng berlari ke sebuah semak, dan memuntahkan seluruh isi perutnya.

"Hoooek! Hooeek!" tangannya bersandar di sebuah pohon.

Putri berlari menyusul sambil membawa botol air minum. Ia berdiri di samping Ajeng dan mengusap- usap punggung gadis itu.

Ronggo bergegas turun dan mendekati keduanya. "Ajeng kenapa? Sakit?"

"Kayaknya mabuk kendaraan Mas," sahut Putri. "Soalnya jalannya parah, guncangan di dalem kerasa banget. Aku sendiri agak mual juga sebenernya."

Ronggo ikut mengeluarkan sebotol minyak angin dan diberikan kepada Putri.

Pak Lutfi memutuskan untuk istirahat lima belas menit. Sekalian menunggu Ajeng agak enakan. Ia mengupdate posisi pada markas di bawah melalui radio.

Triyo melompat turun dari bak belakang mobil. Sejenak ia meregangkan kedua tangan dan punggungnya. Perjalanannya memang tak terlalu lama, tapi medan yang dilalui benar- benar membuat badan sakit semua.

Ajeng duduk di pinggir jalan dengan wajah pucat, sementara Putri mengurut minyak angin di tengkuknya.

Bagus nampak menelpon seseorang sambil mengecek peralatan di bak mobil.

Mereka berhenti di dekat sebuah tugu yang dibuat dari susunan batu. Terlihat begitu kuno.

Triyo mengamati tugu tersebut.

Bentuk tugu itu sekilas mirip sebuah candi, serupa dengan siluet lambang TNI di wilayah Jawa Timur. Di bagian tengah, terdapat ukiran aksara jawa yang sudah pudar dan tertutup lumut tebal, hampir tak bisa di baca. Sebagian bangunan tugu yang runtuh nampak menumpuk di bawah.

"La-wang Ka-ra-jan" celetuk Pak Slamet tiba- tiba sambil menyulut kretek besar.

"Iya, Pak?"

Pak Slamet menunjuk ke arah tugu. "Tulisan nya, Lawang Krajan, ke arah sana. Udah deket kok ini."

Triyo memandang jauh ke arah yang di tunjuk Pak Slamet. Vegetasi di kanan kiri jalan begitu lebatnya hingga bagai menyatu membentuk sebuah terowongan. Gelap. Seakan siap menelan siapapun yang lewat. Triyo mendengus, berusaha mengusir pikiran aneh- aneh.
Ia menenangkan diri dengan fakta bahwa Pak Slamet tiap minggu selalu lewat sini.

"Ini kalau jalan satunya ke arah mana Pak?" ia mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Oh, itu dulu akses jalan sebelum ada jembatan di bawah tadi. Melewati hutan lebat dan perkebunan kopi warga. Muternya jauh banget, udah lama gak dipake juga."

Triyo baru menyadari betapa terpencil nya tempat ini. "Memangnya kenapa ada orang mau tinggal di tempat jauh dari mana- mana begini Pak?"

"Tanah dan air nya bagus Mas," Pak Slamet mengangkat bahu. "Katanya sih begitu. Tapi tiap minggu memang saya biasanya membeli hasil tani mereka. Bagus. Terutama kopinya. Laku keras di pasar."

Triyo mengangguk- angguk. Kemudian ia mendekati Ajeng dan Putri. "Udah mendingan? Nggak kuat naik mobil ya?"

Ajeng hanya mengangguk pelan tanpa suara.

Bukan itu alasan ia muntah. Setelah melewati jembatan tadi rasanya ia sempat kesulitan bernafas. Seperti dihimpit dua tembok yang semakin menekan dadanya. Lalu tiba- tiba perutnya seakan dihantam batu besar, membuat ia tak bisa menahan lagi.

Beberapa menit mereka berhenti, perlahan- lahan udara di sekitar mereka seperti ditutup tabir putih tipis. Langit di atas mereka semakin gelap karena mendung.

"Mulai berkabut," Pak Lutfi menyisirkan pandangan di sekitar mereka. "Ayo semua naik. Kita harus lanjut sekarang."

Semuanya segera mengikuti perintah Pak Lutfi. Sejurus kemudian, mobil berjalan lagi

SEMALAM DI LAWANG KRAJAN [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang