Lereng Raung - 02.14

2.2K 303 5
                                    

"Fuuuuuuhhh..."

Pak Slamet menghembus asap panjang menikmati setiap isapan kretek di sela jarinya. Dengan santai ia menyusuri jalanan lereng.

Berkendara sendirian melewati hutan gelap seperti ini bukan masalah baginya. Toh, hampir setiap minggu ia melewati jalanan ini.

Ia sudah mengerti medan bahkan sampai posisi lubang jalanan.

Semut hitam!
Semut hitam!
Maju jalan!

Hentakan lagu rock 80 an dari USB Pak Lutfi yang menancap di mp3 player menemani pria paruh baya itu menembus hutan.

Sejenak Pak Slamet nampak tidak fokus.

Ia sedang memikirkan alasan untuk warga desa esok pagi, kenapa hanya dirinya satu- satunya orang yang kembali.

Mungkin karena di serang predator hutan?

Atau karena tiba- tiba terjadi longsor susulan?

"Cckk!!" Pak Slamet berdecak kesal. Ia terlalu lelah. Besok saja alasannya dipikirkan ketika sudah tiba di Curahwangi.

Masih ada berkilometer jalanan tak ramah kendaraan yang harus ditembusnya sebelum bisa beristirahat meluruskan punggung.

Mobil melaju stabil di jalanan ketika kabut semakin menebal. Dari balik kaca, mata Pak Slamet menangkap obyek putih yang berada di tengah pertigaan. Tugu penanda jalan.

Pak Slamet memutar setir ke kanan, menuju jalur alternatif. Ia harus agak berhati- hati di sini karena jalanan nya yang rusak parah.

Benar saja. Mobil berguncang tanpa ampun. Pak Slamet tak peduli. Ia terus saja melajukan mobilnya dengan tenang.

Lampu mobil menyorot ilalang, rumput- rumput tinggi yang hampir menutupi jalan darurat itu.

Beberapa lama mobil melaju menembus hutan. Membuat pria itu sedikit bosan. Ia menguap lebar, membuat matanya berair.

Di tengah pandangan mata yang agak kabur karena basah, samar- samar ia melihat sebuah obyek putih di tengah jalan.

"Kok ada tugu lagi?" gumam Pak Slamet sambil mengucek matanya. Setelah itu pandangannya menjadi jelas.

Benda itu ternyata itu bukan tugu.

Melainkan sesosok mahluk yang terbungkus kain putih sepenuhnya. Berdiri di tengah jalan hutan dalam kegelapan.

Pocong.

"JANCUUUK!!" umpat Pak Slamet.

Namun ia tak gentar. Bukan Slamet namanya kalau ia takut begituan. Ia malah menambah kecepatan. Mobil melaju makin kencang.

Sosok itu semakin dekat.

"SINI KAMU!!" teriak Pak Slamet.

Lalu sosok itu seketika lenyap. Membuat Pak Slamet terbelalak ngeri setelah melihat apa yang ada di belakang sosok itu.

Jembatan Lawangkrajan yang roboh tadi sore.

-----

Roda belakang masih berputar ketika mobil itu kini berada dalam posisi terbalik di dasar jurang.

Beruntung bagi Pak Slamet, rimbunnya pohon dan vegetasi yang lebat sepanjang curaman mampu menahan laju jatuhnya mobil, dan menyerap sebagian benturan.

Pak Slamet masih hidup dan sadar di dalam mobil dengan posisi terbalik di kursi sopir.

Ia hanya mengalami sedikit lecet dan memar di beberapa tempat. Sabuk pengaman menyelamatkan nyawanya. Beberapa lama ia merintih merasai nyeri di seluruh badannya.

"Asu!!"

Tangannya perlahan menarik tuas pintu samping. Betapa leganya ia mengetahui bahwa pintu bisa di buka. Ia mendorong sedikit pintu sopir itu.

Pak Slamet berusaha melepas buckle sabuk pengaman. Ia nampak kesulitan bergerak karena posisi badan yang terbalik dalam kabin sopir.

Tak lelo, lelo lelo legung..

Sebuah nyanyian merdu terdengar menggema di sekelilingnya.

Pak Slamet bergidik mendengar lagu yang seharusnya membuat anak- anak terlelap itu. Dengan perlahan ia menarik pintu mobil hingga tertutup.

Cep menengo, anakku Si Kuncung..

Pak Slamet menahan nafas. Seakan tindakannya bisa menyembunyikan keberadaannya dari mereka.

Ia mengamati sekitarnya. Sorot headlight mobil di depan membuat kanan dan kirinya masih lumayan terlihat.

Dari jendela kanan, yang terlihat hanyalah rerimbunan semak, akar pohon dan dedaunan di dasar jurang.

Lalu perlahan, samar- samar di sekelilingnya nampak kain- kain putih terikat yang bermunculan.

Pak Slamet hanya bisa melihat bagian bawahnya, namun melihat mereka melompat mendekatinya dalam kondisi tak bisa bergerak seperti ini membuatnya ngeri juga.

Ia membekap mulutnya sendiri agar tak bersuara. Sebab kaki sosok berkain itu berhenti tepat luar pintu mobil. Di depan wajahnya.

Tak lelo, lelo lelo legung..

Suara nyanyian itu lagi. Kali ini terdengar begitu samar dan lirih. Seakan- akan berasal dari tempat yang jauh.

Pak Slamet menoleh ke arah sebaliknya.

Sesosok perempuan duduk dalam posisi terbalik di sampingnya. Menyeringai dengan gigi hitam kemerahan. Matanya penuh hitam pekat, dengan wajah tirus berkeriput.

Lalu suara cekikikan menggema di hutan itu.

SEMALAM DI LAWANG KRAJAN [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang