Lereng Raung - 03:45

2.2K 331 15
                                    

"Pergi ke mana Mbah?" Triyo nampak bingung. "Sejak tadi kami sudah coba pergi dari sana, tapi selalu kembali lagi."

"Pergilah ke Timur," si Kakek menunjuk ke satu arah.  "Jangan lewat jalan, tapi tembuslah hutan di belakang pondok ini."

"Lewat hutan?"

"Teruslah berjalan ke arah Timur. Sampai kalian bisa mendengar puji- pujian untuk kanjeng Nabi, dan panggilan sembahyang, itu tandanya kalian sudah dekat dengan dunia kalian," si kakek menyerahkan tongkat bambu kuningnya kepada Ajeng.

"Kita nggak punya senter," Ajeng berbisik pada Triyo.

"Jika kalian masih di sini saat suara ayam jago berkokok, kalian akan terjebak di dunia ini," si kakek membuka pintu pondok. Ia berjalan keluar.

Ajeng dan Triyo segera menyusul.

"AAAAAHHHHH!!!!" teriak Ajeng begitu melangkah dari pintu pondok. Ia bersembunyi di bahu Triyo.

Di sekeliling tanah lapang pondok, di antara lebatnya pepohonan hutan, nampak mahluk- mahluk itu berdiri dalam kegelapan.

Jumlahnya ratusan, seakan semua penghuni wilayah ini berkumpul di sana.

Ada yang seperti manusia, ada yang setengah binatang. Ada yang setinggi balita, hingga ada yang menjulang lebih tinggi dari pepohonan. Bentuknya bermacam- macam. Namun yang pasti, semuanya nampak mengerikan.

Mereka tertawa, dan terkekeh. Mereka menginginkan Triyo dan Ajeng, sebagai sisa tumbal yang masih hidup.

Si Kakek menyerahkan obornya kepada Triyo. "Bergegaslah ke Timur. Srengenge Wetan akan menuntun kalian."

"Lalu Mbah bagaimana?" Triyo nampak khawatir.

"Saya ini bangsa mereka. Tempat saya ya di sini," si kakek tertawa. "Pergilah. Dan jangan sekali- kali menengok ke belakang.".

"Makasih," Ajeng mengangguk kepada si kakek. "Mbah..?"

"Raung," ujar si kakek. "Nama saya Raung."

Ajeng tersenyum. "Assalamualaikum."

"Alaikumsalam."

-----

Triyo menggenggam tangan Ajeng, dan mengajaknya setengah berlari menuju hutan. Mereka bergegas menembus semak dan pepohonan.

Mbah Raung berjalan ke tengah tanah lapang. Ia memandang mahluk- mahluk yang berdiri di sekelilingnya. Sambil menghembus asap klobot, Mbah Raung berseru kepada mereka.

"Rupanya kalian lupa siapa saya."

Api obor di tangan Triyo memang tak terlalu dapat menerangi sekitar mereka. Namun rasanya entah kenapa, api obor ini lebih menenangkan daripada cahaya terang senter mereka.

Mereka terus berlari, secepatnya menjauh dari lapangan itu.

Lalu tiba- tiba, terdengar suara tawa dan cekikian dari jauh.

Yang disambut sebuah suara raungan macan yang besar.

Di susul suara gemeresak daun dan derak kayu yang patah. Suara gemuruh keras. Dan suara benturan besar.
Seperti suara pertarungan.

Mbah Raung kah?

Triyo tak peduli. Ia ingat pesan Mbah Raung untuk tidak menoleh ke belakang, toh juga memang ia tidak tertarik untuk mengetahui apa yang ada di belakang sana.

Yang ia peduli sekarang adalah: mereka punya harapan untuk pulang.

Mereka terus berlari ke satu arah. Triyo tak yakin mereka akan berlari tembus ke mana. Sebab tak ada petunjuk apapun di sekitar mereka.

SEMALAM DI LAWANG KRAJAN [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang