Lereng Raung - 01:22

2.2K 314 8
                                    

Suara ban yang beradu dengan bebatuan terdengar, mengiringi mobil yang berguncang pelan. Pepohonan di samping kanan dan kiri seakan berjalan mundur meninggalkan mereka.

Sorot lampu mobil menerangi jalanan, menembus kegelapan rimbunnya hutan di sepanjang lereng. Hujan sudah berhenti, menyisakan jalanan basah dan bergenang.

Empat orang di dalam mobil itu tak ada yang berbicara. Mereka sudah lelah dengan semuanya. Hal- hal yang mereka alami di LawangKrajan tak akan bisa mereka lupakan dalam waktu lama.

Mereka nampak begitu kacau. Basah dan penuh lumpur. Putri dan Ajeng duduk berpelukan di tengah, saling menghangatkan badan.

Pak Slamet hanya termenung menatap kosong jalanan di depan. Triyo fokus mengemudikan mobil. Di atas dashbor tergeletak sebotol air mineral yang tinggal separuh.

"Tadi itu saya nggak bermaksud menabrak Mas Bagus," Pak Slamet membuka suara. Ia seakan merasa begitu bersalah. "Tadi itu yang kami lihat dari dalam mobil adalah-"

Pak Slamet tak melanjutkan kalimatnya.

"Itu bukan salah Pak Slamet," Putri mencoba menenangkan pria paruh baya itu. "Bagus mati karena hal lain, Pak."

Sebagai anggota medis, Putri sempat memeriksa mayat Bagus yang tergeletak di bawah pohon. Tubuhnya memang mengalami patah dan hancur di beberapa bagian, tapi bukan itu penyebab kematiannya.

Sebab mayat Bagus saat itu hanyalah berupa kulit yang membungkus tulang. Kulitnya nampak keriput dan pucat. Wajahnya begitu tirus dengan bibir pecah. Luka- luka menganga akibat tabrakan namun tak ada darah. Seakan ada sesuatu yang menghisap Bagus habis hingga kering.

"Sudah dong jangan bahas itu lagi," Ajeng nampak cemas. Ia bahkan tak berani untuk menoleh ke arah luar jendela yang gelap. Seakan- akan sesuatu bisa muncul kapan saja.

Triyo hanya terdiam menatap jalanan berbatu. Matanya menangkap sebuah bangunan tugu putih berbentuk candi, yang berada di tengah sebuah pertigaan.

Triyo memutar setir mobil ke kanan.

"Kita pulang," gumamnya.

-----

-lima menit sebelumnya-

Ajeng memasukkan beberapa botol air mineral ke dalam ransel kecil. Tak lupa beberapa sisa makanan kering darurat.

Putri memasukkan barang- barang penting yang bisa di bawa. Ia melipat jaket dan jas hujan barangkali diperlukan nanti.

Pak Slamet menutupi mayat Ronggo dengan selimut.

Triyo mengemasi beberapa barang bawaan Pak Lutfi. Hanya ini yang tersisa dari komandannya. Setidaknya ia bisa membawanya kembali ke markas dan keluarganya.

"Ayo kita cepat pergi dari sini," Ajeng mengenakan jaketnya. Ia nampak tak sabar ingin meninggalkan tempat ini.

Triyo melihat jam tangan. "Baiklah, aku yang akan menyetir."

"Lalu bagaimana dengan mereka?" Putri menunjuk mayat Ronggo dan Bagus. "Masa kita tinggalkan mereka di sini?"

"Apa kita bawa saja?" Pak Slamet mencoba memberi solusi. "Kita bisa letakkan mereka di bak belakang mobil."

Triyo dan Putri menatap mayat Ronggo dan berpikir sejenak.

"..."

"Kalo tiba- tiba mereka bangun gimana?" tanya Ajeng agak takut- takut.

Yang lain saling berpandangan. Mengingat bermacam hal di luar akal sehat yang telah mereka alami di sini, kemungkinan itu juga bisa terjadi.

"Atau di tinggal di sini?" Pak Slamet merevisi solusinya.

"Setuju!"

Dengan terburu- buru mereka menutup pintu rumah kayu, dan bergegas menuju mobil.

-----

Beberapa lama telah berlalu. Suspensi mobil hijau itu benar- benar bekerja ekstra keras melibas jalur ini. Sorot lampu mobil menjadi satu- satunya sumber cahaya di kegelapan pekat itu.

Triyo beberapa kali menampar wajahnya untuk mengusir kantuk. Ia harus fokus untuk bisa melintasi jalanan off road ini. Ranting dan semak belukar yang mencuat seakan tak memberinya kesempatan beristirahat.

Pak Slamet sebagai satu- satunya dari mereka yang pernah melintasi jalur ini juga nampak sibuk. Beberapa kali ia memberi petunjuk kepada Triyo saat melewati jalur yang hampir hilang tertutup ilalang.

Ajeng telah tertidur, mendekap dan bersandar di lengan Putri. Ia menggunakan jaketnya sebagai selimut.

Putri tersenyum lega. Sejauh ini, perjalanan tak mengalami hambatan berarti. Ia tak keberatan dengan guncangan ekstra keras akibat batu besar di jalan. Ia sendiri merasa sangat capek, dan dalam kondisi setengah mengantuk.

"Sebelum ada jembatan, berarti Pak Slamet selalu lewat sini?" Triyo berusaha untuk membuat percakapan agar tak mengantuk.

"Yaa," Pak Slamet tertawa. Ia sendiri sudah lama tak lewat jalur ini. Rasanya ia lupa bagaimana sensasinya.

"Ini sepanjang jalur bakalan seperti ini?"

"Kalo seingat saya sih-"

"-Oh," seru Triyo girang melihat jalur di depan. Ilalang dan semak lebat semakin menipis, dan jalanan berbatu besar berganti jalanan tanah rata. "Lumayan, bonus nih."

Pak Slamet nampak mencoba mengenali lokasi sekitar.

Triyo tersenyum mengendalikan mobil melibas jalanan tanah yang landai itu. Pepohonan di kiri kanan nya sudah tak selebat tadi.

Lalu senyum di wajahnya mendadak hilang. Ia menginjak rem dalam- dalam. Seketika mobil berhenti di bawah sebuah pohon besar.

Membuat Putri dan Ajeng terjerembap ke sandaran kursi depan. Mereka berdua itu tersentak dari kantuknya.

"ADUH!!" Ajeng mengusap- usap kepalanya.

"Ada apa, Yo?" Putri mengerjap- ngerjapkan matanya, melihat ke arah luar. Kepalanya masih pening akibat terbangun secara paksa. Ia mencoba fokus ke arah sorot headlight mobil.

Didepannya, nampak sebuah jalan kecil yang tidak cukup untuk dimasuki mobil. Di kanan dan kiri jalan itu berjajar rumah- rumah kayu yang nampak rapi.

Mereka kembali ke LawangKrajan.

SEMALAM DI LAWANG KRAJAN [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang